Presiden Amerika Serikat (AS) Thomas Jefferson. Presiden ke-3 AS (1801 – 1809) mengucapkan, “Jika saya harus memilih antara pemerintahan tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintahan, maka saya tidak akan berpikir panjang untuk memilih yang terakhir.”
PALI//SI.Com–,Tanggal 3 Mei 2022 jatuh pada hari Selasa. Tanggal 3 Mei diperingati sebagai hari kebebasan pers internasional yang bertepatan hari kedua perayaan Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah umat muslim seluruh dunia.
Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Efran mengatakan hari kebebasan pers se-dunia pada tahun 2022 ini lebih bermakna dan berkesan.
“Ya karena tahun ini jatuh berbarengan dengan Hari Raya Idul Fitri,” kata Efran kepada awak media diruang kerjanya, Selasa (03/05).
Menurut Efran, walaupun hari ini tidak ada seremonial tetapi dia mengingatkan kepada seluruh insan pers dan media di PALI bahwa hari kebebasan pers harus tetap digaungkan.
Selain itu, kata Efran, eforia perayaan Hari Raya Idul Fitri jangan sampai melupakan hari besar para wartawan. Untuk itu, Efran mengajak seluruh rekan se – profesi untuk memperingati hari kebebasan pers pasca lebaran.
Kendati demikian, Efran menegaskan bahwa kebebasan pers atau kemerdekaan pers sendiri adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999 sendiri menyebabkan terjadinya perubahan istilah dari pers yang bebas dan bertanggungjawab menjadi kemerdekaan pers.
Kebebasan pers di Indonesia pasca reformasi menjelma menjadi kemerdekaan pers. Sejak saat itu masyarakat pers di Indonesia lebih sering menggunakan istilah “kemerdekaan pers.”
Efran menuturkan pembuatan UU ini menjelaskan pers sebagai kedaulatan rakyat yang mewakili rakyat dan berada disisi rakyat untuk membuat berita tanpa batas dan tidak bisa diintervensi.
“Sehingga biarkan pers mendudukan berita karena disana ada rambu-rambu, UU, dan kode etik. Semakin teguh menaati semakin bermartabat dan publik semakin percaya,” jelas Efran.
Dalam momentum ini, Efran teringat dengan sebuah tulisan seorang penyair Omi Intan Naomi dalam buku berjudul”Anjing Penjaga Pers di Rumah Orde Baru”.
Efran sependapat dengan penyair tersebut menyebut bahwa “Pers adalah Watchdog”, anjing penjaga, sebutan orang amerika. Tugasnya mengawasi ligkungan, dan ‘menggonggong’ tiap kali mengendus kesalahan. Sebagai tukang jaga yang mempunyai ketajaman penglihatan, pendengaran dan naluri akan bahaya bagi lingkungannya.
Diungkapkan Efran, bahwa dalam penerapan kebebasan pers kerap menimbulkan terjadinya gesekan antara pers dan subjek berita. Pada tahun 2020 silam, dia bersama dua rekannya dilaporkan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) PALI, A. Ghani Akhmad, SH., M.Si melalui Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa PALI (FK2DP), Abul Rustoni ke Polres PALI dan ditetapkan menjadi ‘tersangka’ karena menulis berita dugaan pemotongan dana desa.
“Alhamdulillah setelah menjalani proses panjang penyidikan, perkara itu sudah diterbitkan SP3 Polres PALI. Karena tudingan yang disangkahkan kepada kami tidak cukup bukti moril maupun materil,” ujar Efran.
Menurut Efran, didalam negara yang tidak memiliki kemerdekaan pers, tidak aka nada demokrasi atau hanya demokrasi semu. Dalam tatanan yang tidak demokratis, tidak akan ada kebebasan pers. Pers atau media akan berfungsi sebagai sarana kepentingan kekuasaan atau sekurang-kurangnya tidak menjadi sarana kepentingan publik.
Yang lebih parahnya, lanjut Efran, Pers hadir sebagai alat kekuasaan, pers adalah alat propaganda kekuasaan, bukan media publik.
Tak hanya itu, Efran menambahkan, dalam pemerintahan yang otoriter adanya kontrol yang ketat terhadap warga negaranya. Karakter utama pemerintahan otoriter adalah, kemampuannya mempertahankan kekuasaan melalui penindasan menggunakan kekuatan polisi dan militer.
Dalam kesempatan itu, Efran menyampaikan pesan bahwa laporan terhadap dirinya, harusnya menyita perhatian masyarakat pers khususnya di PALI. Kedepan adalah bagaimana membuat kemerdekaan pers di kabupaten PALI ini tetap terjaga dengan baik.
Efran menegaskan, kemerdekaan pers dan kebebasan pers harus tetap dijaga dan dirawat, karena pers adalah bagian penting demokrasi yang disebut pilar keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Ketika eksekutif, yudikatif dan legislatif bermasalah, pers yang menjadi pilar keempat demokrasi yang bekerja,” Jelas Efran.
Untuk itu, Efran menghimbau menjadi wartawan harus punya keberanian, dengan kemerdekaan pers dan kebebasan pers, maka pers akan mampu menyampaikan kritik-kritiknya dengan tepat dan kritis. Pers memberikan peringatan-peringatan sebagai early warning system.
Kendati demikian, Efran menegaskan, profesi wartawan bukan untuk menakuti-nakuti. Kemerdekaan pers atau kebebasan pers dan perlindungan wartawan adalah milik wartawan yang bekerja secara profesional. Bukan orang yang mengaku-aku sebagai wartawan tetapi kerap menyalahgunakan profesinya, seperti melakukan pemerasan yang tak lebih sebagai pelacur profesi.
Tim.
0 Comments