SI.com—-HIDUP mati seseorang ditentukan takdir Allah yang tak bisa diubah oleh siapa pun. Terutama ketika ajal datang menyergap, manusia harus tunduk, dan mau tak mau harus tersungkur ke liang lahat.
Demas Laira (28), wartawan online sulawesion.com tak mampu menapik kedatangan ajal. Sebab, siapa pun dia, di dalam QS An-Nisa ayat 78 menyatakan, “Di mana saja kamu, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”
Dalam QS Ali Imraan ayat 185, setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Begitu tegasnya isi kedua surat itu tentang kematian.
Demas Laira yang tewas ditikam pihak tertentu 17 tusukan di dada dan bawah ketiaknya. Namun yang kita persoalkan di sini bukan kematian Demas Laira, tapi ancaman maut ke pada wartawan di Indonesia yang bekerja memberi informasi ke masyarakat.
Meski awak jurnalis sudah berkoak-koak terkait hak kebebasan melaksanakan tugasnya, apa ada “jaminan” bahwa wartawan tidak terancam dan terjerumus ke liang kematian.
Pertanyaan itu memang terkesan bias. Meskipun pasal 4 ayat 3 secara tegas menjelaskan kebebasan dan negara melindungi tugas wartawan, namun banyak jurnalis yang tewas saat mereka menjakankan tugasnya.
Peristiwa terakhir dialami Demas Laira. Ia tersungkur tewas setelah 17 tusukan membolongi dada, punggung, dan bawah ketiaknya.
Seolah nyawa Demas Laira itu sama seperti sepotong ranting kering yang dipatahkan dan dibuang, terijak-ijak manusia dan hewan tanpa ada harganya.
Begitukah fakta keselamatan wartawan seperti yang tertulis di pasal 4 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999?
Meski pertanyaan itu selalu bergetar dalam gaungan suara, tapi kesan arti dan tujuan kebebasan dan kemerdekaan pers tetap dikhawatirkan akan terjadi ancaman mematikan.
Itulah kematian yang dialami jurnalis muda dari Sulawesi Barat, Demas Laira. Dari fakta yang ada, isi seruan tertulis di UU Nomor 40 tahun 1999 itu sebenarnya bukti kekuatan dunia kerja wartawan. Namun karena sosialisasinya hanya di lingkungan praktisi hukum, pihak kepolisian, masyarakat terpelajar, maka undang-undang itu menjadi kekuatan tertulis dan lemah pemahamannya di kalangan masyarakat awam.
Jika kondisi pasal 4 ayat 3 UU Nomor 1999 faktanya seperti ini, maka tindak kekerasan dan ancaman pemukukan dan pembunuhan akan terus melanda wartawan Indonesia di mana pun ia melakukan tugasnya.
Dalam kaitan tewasnya Demas Laira, Pemimpin Redaksi Sulawesion.co, Supardi Bado, mengatakan korban seringkali menulis berita terkait pembangunan yang “dikotori” ketidakbenaran di daerahnya.
Apakah Demas terbunuh ada kaitannya dengan sejumlah berita yang ditulisnya? Berita apa saja yang isinya memusuhi pihak tertentu?
Boleh jadi polisi bisa menelusurinya dari berita-berita yang Demas Laira tulis. Apalagi berita-beritanya itu dianggap pihak tertentu telah memojok dan menjatuhkan posisinya? Penyelidikan ke arah ini memang harus difokuskan polisi. Siapa tahu akan bisa menjadi pintu masuk untuk mengetahui siapa-siapa saja pelaku pembunuhan itu.
Dalam peristiwa itu, wartawan se-Indonesia dan jurnalis senior Tarech Rasyid meminta agar polisi bisa secepatnya menguak kasus pembunuhan Demas Laira.
Sebenarnya, kita tidak ingin lagi adanya wartawan yang terbunuh dan dibunuh oleh manusia setengah hewan.
Sebab apabila peristiwa pembunuhan wartawan kembali terjadi, maka Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tidak memiliki wibawa terkait hukum-hukum yang melandasi pekerjaan wartawan.
Kita berharap ke pada pemerintah, terutama Dewan Pers, agar lebih kencang melakukan usaha untuk menyosialisasi UU Nomor 40 tahun 1999.
Dengan demikian, tugas-tugas kewartawanan bisa berjalan sesuai harapan masyarakat. Karena keadaan kita (dunia wartawan) selalu terancam sejak rezim Orde Baru. Maka dengan tumbangnya rezim Orde Baru, para jurnalis bisa berekspresi bebas karena UU Nomor 40/1999.
Benarkah demikian? Buktinya sejumlah wartawan dan wartawan sulawesion.co Demas Laira tergelimpang tewas setelah bertugas menulis berita?
(Penulis: Anto Narasoma)
0 Comments