Air Sugihan, Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan — Deru angin di kawasan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, akhir-akhir ini bukan hanya membawa kabar musim kemarau yang mengeringkan lahan, tetapi juga kabar duka yang berulang. Bentangan hutan yang dulu hijau kini kian sempit, memaksa penghuni alaminya, gajah liar Sumatera, mendekat ke perkampungan manusia.
Kali ini, Minggu (7/7/2025) sekitar pukul 11.30 WIB, insiden baru terjadi. Dua warga Desa Bukit Batu, Kecamatan Air Sugihan, harus merasakan perihnya benturan sang raksasa hutan. Mery dan Pranoto, yang sehari-hari dikenal sebagai petani, mendadak jadi korban keganasan gajah liar yang muncul di sekitar pemukiman.
Keduanya kala itu bermaksud menakut-nakuti gajah agar kembali ke arah Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun nahas, gajah justru berbalik menyerang. Dalam sekejap, Mery dan Pranoto tersungkur. Pinggul dan punggung mereka lebam, memar parah, sebelum akhirnya dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat oleh warga yang datang menolong.
Warga Desa Bukit Batu bercerita, teror gajah liar bukan hal baru di sana. Sehari sebelum penyerangan ini, Sabtu malam (6/7) sekitar pukul 19.00 WIB, hewan berbelalai itu lebih dulu membuat warga panik. Salah satu rumah warga rata dengan tanah. Dinding kayu ambruk, perabotan hancur, suara rintihan anak-anak bercampur gemuruh langkah gajah yang akhirnya pergi menembus gelap malam.
Syukron, salah satu warga, masih ingat betul bagaimana malam itu warga berjaga. “Kami jaga gantian. Begitu dengar suara gaduh di belakang rumah, kami bawa obor, bawa mercon, apa saja untuk ngusir. Tapi gajahnya enggak takut,” katanya.
Pagi harinya, Syukron dan beberapa warga berinisiatif menghalau gajah lebih jauh ke dalam hutan tanaman. Namun, usaha itu justru berujung tragedi bagi Mery dan Pranoto.
Menurut Syukron, gajah yang datang kali ini diyakini sama dengan yang pernah merenggut nyawa seorang warga di wilayah Simpang Heran beberapa waktu lalu. Kala itu, seorang petani ditemukan tewas mengenaskan, tubuhnya remuk tertindih amukan gajah. Sejak itu, trauma merayap di benak warga setiap kali mendengar gemerisik di semak dekat rumah.
Ironisnya, beberapa hari sebelum kejadian teranyar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofik, sempat datang ke Air Sugihan. Dalam kunjungan kerja tersebut, warga sempat mengadukan kegelisahan mereka — tentang nasib manusia yang terusik dan satwa yang kehilangan ruang hidup. Namun, hingga insiden berdarah kembali terulang, belum ada tanda-tanda penanganan konkret di lapangan.
Konflik antara manusia dan gajah liar di Air Sugihan bukan masalah sepele. Ekspansi lahan perkebunan dan hutan industri sejak beberapa dekade terakhir telah memangkas jalur jelajah gajah Sumatera, satwa langka yang kini statusnya kritis terancam punah. Jalur migrasi alami yang dulu terhubung antardesa kini terputus oleh parit, kanal, dan blok-blok tanaman industri.
Gajah yang lapar dan terdesak akan mencari makan ke kebun sawit, ladang padi, bahkan halaman rumah warga. Kadang datang satu, kadang rombongan. Warga pun terjebak di antara pilihan sulit — berusaha mengusir dengan peralatan seadanya, atau pasrah menunggu bantuan yang entah kapan datang.
“Kami sudah sering sampaikan ke pemerintah, ke pihak perusahaan. Tapi ya begini-begini saja. Kalau pun ada petugas, paling datang sekali, setelah itu kami disuruh sabar,” keluh Syukron.
Dulu sempat santer kabar bahwa sebagian lahan akan dijadikan kawasan konservasi gajah. Di atas kertas, rencana tersebut terdengar menjanjikan: membangun koridor satwa, memasang pagar listrik di jalur rawan, hingga relokasi gajah yang kerap masuk perkampungan. Namun di lapangan, Syukron mengaku tidak pernah melihat realisasinya.
“Konservasi itu di mana? Kami enggak pernah lihat. Yang ada rumah warga rusak, korban luka, tanaman habis,” kata Syukron lagi.
Desakan warga semakin kencang agar pihak berwenang, mulai dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) hingga pemerintah daerah, segera bertindak. Warga berharap konflik panjang ini tidak lagi sekadar jadi bahan rapat, tetapi ditangani dengan aksi nyata.
Sampai berita ini ditulis pada Minggu sore pukul 14.50 WIB, warga masih berjaga di sekitar desa. Beberapa orang berkeliling membawa petasan, sebagian lain menunggu di pinggir kebun, bersiap jika gajah kembali muncul.
Di sisi lain, Mery dan Pranoto masih terbaring di ruang perawatan. Luka lebam di punggung Mery membuatnya sulit duduk. Pranoto pun hanya bisa meringis saat ditanya wartawan.
“Kami butuh pengobatan, butuh biaya. Rumah yang rusak pun enggak ada ganti rugi,” ucap seorang keluarga korban dengan nada pasrah.
Selain penanganan korban, warga berharap pemerintah memikirkan kompensasi untuk kerugian harta benda yang rusak. “Kalau terus begini, siapa yang mau tinggal di sini? Mau ke mana lagi kami pindah?” tanya Syukron.
Pakar lingkungan mengingatkan, konflik manusia-satwa liar di Sumatera Selatan hanya puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar: kerusakan ekosistem hutan tropis. Jika ekspansi lahan tak dikendalikan, bukan hanya gajah yang kehilangan rumah — kebakaran hutan, banjir, penurunan keanekaragaman hayati, hingga gagal panen adalah risiko yang menanti.
Gajah Sumatera, salah satu satwa kunci yang menjaga keseimbangan ekosistem, kini malah dianggap musuh. Padahal, di hutan alaminya, gajah berperan menyebarkan biji tumbuhan dan membuka jalur alami untuk satwa lain. Ketika jalur itu hilang, bencana datang silih berganti.
Warga Desa Bukit Batu, juga desa-desa sekitar Air Sugihan, hanya berharap satu: pemerintah dan perusahaan segera turun tangan, tidak lagi menunda. Mereka mendesak:
1. Relokasi gajah ke kawasan konservasi permanen.
2. Penanganan medis dan bantuan biaya perawatan bagi korban.
3. Kompensasi bagi rumah, kebun, atau harta benda yang rusak.
4. Edukasi dan pendampingan masyarakat agar siap menghadapi konflik satwa.
5. Pengawasan ketat perluasan lahan yang memakan jalur jelajah satwa.
Tanpa langkah tegas, teror gajah liar hanya tinggal menunggu waktu untuk menelan korban baru. Dan masyarakat kecil, seperti Mery dan Pranoto, lagi-lagi akan jadi nama-nama sunyi di antara lembaran laporan konflik ekologis yang tak pernah tuntas.**Red***