IWO Sumsel gelar perayaan HPN Ke-78 Tahun di Sekretariat PW IWO


Redaksi sarana informasi.com

PALEMBANG, Ketua IWO Sumatera Selatan Efran mengatakan wartawan sejati adalah orang yang peduli dengan hari besarnya yaitu hari pers nasional.
Hal tersebut diungkapkan Efran pada peringatan hari pers nasional (HPN) ke – 78 tahun di Sekretariat Pengurus Wilayah IWO Sumatera Selatan, Bukit, Ilir Barat I, Palembang, Jum’at (09/02).

Menurut Efran, ada dua makna yang terkandung dalam peringatan hari pers nasional yaitu peringatan yang bersifat kedalam dan perayaan yang dikandung.
“Pertama bermakna peringatan yang bersifat kedalam, dalam rangka evaluasi, intropeksi untuk sadar akan keberadaan jati dirinya sebagai referensi untuk kedepan yang lebih baik Kedua bermakna perayaan yang dikandung, bermaksud sebagai suatu pengamatan bahwa hari itu adalah hari jadinya sebagai sejarah tanggal keberadaanya,” kata Efran.

Dalam kesempatan itu, Efran menceritakan tentang sejarah peradaban pers Indonesia yang dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Mimpi rakyat Indonesia menerbitkan surat kabar, kata Efran, sudah ada sejak kekuasaan Hindia Belanda pada abab 17 namun terhalang oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) saat itu. Baru setelah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, terbitlah surat kabar “Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen” yang artinya “Berita dan Penalaran Politik Batavia” pada 7 Agustus 1744.
Kemudian tutur Efran, ketika Inggris menguasai wilayah Hindia Timur pada 1811, terbit surat kabar berbahasa Inggris “Java Government Gazzete” pada 1812.

Efran mengungkapkan keinginan bangsa Indonesia memiliki surat kabar dipelopori oleh seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, Tirto Adhi Soerjo yang dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia Pada 1907, terbit “Medan Prijaji” di Bandung yang dianggap sebagai pelopor pers nasional karena diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kali, yaitu Raden Mas Tirto Adhi Soerjo,” ungkap Efran.

Baca juga:  Polres Banyuasin Menggelar Olahraga Di Hari Bhayangkara Ke 76.

Lebih lanjut, Efran menyampaikan, pada tahun 1942 kebijakan pers menjadi berubah ketika Jepang berhasil menaklukan Belanda dan akhirnya menduduki Indonesia. Semua penerbit yang berasal dari Belanda dan China dilarang beroperasi dan sebagai gantinya penguasa militer Jepang lalu menerbitkan sejumlah surat kabar sendiri.

Pada masa itu, ujar Efran, sejumlah tonggak sejarah pers Indonesia juga lahir, seperti LKBN Antara pada 13 Desember 1937, RRI pada 11 september 1945, dan organisasi PWI pada 1946 yang kemudian menjadi cikal bakal Hari Pers Nasional.

Efran mengatakan seiring runtuhnya pemerintahan orde lama kehidupan pers di Indonesia mulai memperoleh kebebasan. Pemerintah orde baru mengeluarkan UU No. 11 tahun 1966 tentang prinsi-prinsip dasar pers. Namun, terang Efran, kenyataannya surat kabar harus memiliki dua izin, yaitu Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB.
Namun kemudian, kata Efran,

nasib peradaban pers Indonesia menjadi kelam. Berawal dari Peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari 1974) terjadi demo besar-besaran di Jakarta yang menyebabkan ada 12 pers yang kehilangan SIT dan SIC atau bisa dibilang dibredel oleh pemerintah. Sejak peristiwa Malari pemerintah mulai memperhatikan dan menekan pers dengan dikeluarkannya UU No.21 tahun 1982 tentang pokok-pokok pers yang mengharuskan pers memiliki izin, yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari departemen penerangan sebagai alat untuk menekan pers sejalan dengan kebijakan pemerintah.

“Sehingga sejak saat itu pers disebut anjing penjaga rumah orde baru dalam karangan Omi Intan Naomi. Apabila ingin tetap hidup, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan,” terang Efran.

Baca juga:  Ukir Prestasi Lagi, Tiga Perwira TNI AD Raih Cumlaude Gelar Doktor di Universitas Gajah Mada

Efran mengatakan semangat perjuangan rakyat Indonesia tidak pernah luntur walaupun dalam tekanan pemerintah orde baru yang otoriter.
“Digulingkanya rezim orde baru tahun 1998 atas desakan reformasi menjadi angin segar peradaban pers Indonesia. Dikeluarkannya UU Pers No.40 tahun 1999 menghidupkan kembali jati diri dan marwah pers yang telah lama mati suri. Dalam UU tersebut pers merengkuh kembali semangat perjuangan setelah terbelenggu selama 32 tahun rezim orde baru berkuasa.

Dalam perjalanan panjang sejarah pers Indonesia Efran mengingatkan kembali kepada wartawan di Sumatera Selatan bagaimana pedihnya tokoh-tokoh pers dan rakyat Indonesia yang menginginkan kebebasan.
Untuk itu, Efran mengajak seluruh insan pers dan media untuk meneruskan cita-cita luhur yaitu menjaga perdaban pers. Menurut Efran, peradaban pers harus senantiasa terjaga dan terpelihara keberlangsungannya.
“Dalam momentum ini kita jadikan refleksi diri dan melawan lupa bagaimana tokoh pers dan rakyat Indonesia dalam membangun peradaban pers harus berhadapan dengan senjata dan penjajah demi terwujudnya kemerdakaan dan kebebasan rakyat Indonesia,” ucap Efran.

Disisih lain, Efran mengatakan beberapa hari lagi pemerintah Indonesia akan menggelar Pemilihan Umum. Pada 14 Februari nanti rakyat Indonesia akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta wakil rakyat di DPR RI, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
“Untuk itu saya menghimbau kepada rekan-rekan satu profesi untuk terlibat membantu proses pemilu nanti agar terlaksana dengan lancar tanpa ada halangan. Buatlah berita dengan cara-cara profesional, bukan membuat berita hoax yang berujung memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat kita,” tutupnya.

Sebagai seremonial perayaan HPN 2024, Pengurus Wilayah IWO Sumsel melakukan pemotongan nasi tumpeng yang diberikan Efran kepada para tamu undangan.

Baca juga:  Sartini Terharu Bupati Makan Di Warung Bakso Nya

Seperti diketahui, Hari Pers Indonesia Jatuh Setiap Tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun PWI. Persatuan Wartawan Indonesia yang dibentuk pada 9 Februari 1946. Atas desakan dari berbagai pihak tanggal 23 Januari 1985, Soeharto menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985.

Dalam kesempatan itu, hadir beberapa tamu undangan, yaitu Pj. Gubernur Sumatera Selatan yang diwakili Kabag Humas Pemprov Sumsel, Ega Puza Satria, Ketua PWI Sumsel diwakili, Naovasriadi, Kapolda Sumsel diwakili Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol Sunarto, Danrem 044/Gapo diwakili Kapenrem 044 Gapo, Mayor Jauhari, Danlanal Palembang diwakili Kapenlanal Palembang Lettu Zulfikar, Danlanud SMH Palembang diwakili Lettu Agus, Dewan Kehormatan IWO Sumsel Dr. Wijaya, Pertamina EP Zona 4, Sukeri, Kepala Perwakilan BI Sumsel, Andra N Agasta, Ketua IWO Kota Palembang, Syafrullah, dan Pengurus IWO Sumsel.

Editor Pahrul Edi 🇮🇩


Like it? Share with your friends!

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Seeet✋, Tidak boleh Copas, Izin dulu pada yg punya Media.🙏