Ruteng, NTT//SI.com- Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) berinisial AT dari Kodim 1612/Manggarai terhadap dua remaja di Ruteng, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, pada Minggu (16/02/2025) malam, dikabarkan berakhir damai.
Perdamaian ini diumumkan dalam sebuah siaran di salah satu kanal YouTube pada Kamis (20/02/2025) sore.
Namun, meski kedua belah pihak telah berdamai, Praktisi Hukum Dr. Siprianus Edi Hardum, S.IP.,S.H.,M.H menegaskan, pihak TNI, khususnya Pangdam dan pimpinan terkait, tetap harus memberikan sanksi kepada pelaku untuk menjaga wibawa institusi dan menghindari preseden buruk di masa depan.
Edi menjelaskan, meskipun dalam hukum pidana terdapat mekanisme restorative justice yang memungkinkan pelaku untuk dimaafkan, tindakan ini tidak boleh menutup kemungkinan adanya hukuman indisipliner dari TNI terhadap oknum tersebut. Hukuman tersebut harus dilakukan secara transparan agar tidak merusak citra TNI.
“Saya khawatir, jika kejadian seperti ini dibiarkan begitu saja dengan alasan perdamaian, maka hal serupa akan terus terulang. Ini bisa meruntuhkan wibawa TNI dan membuat hukum menjadi tidak dihormati,” tegas Edi kepada wartawan, Jumat (21/2/2025).
Menurut Edi, kasus ini bukanlah delik aduan, melainkan delik umum, yang berarti meskipun kedua belah pihak sudah berdamai, proses hukum tetap harus dilanjutkan.
Polisi Militer Angkatan Darat harus tetap memproses kasus ini, karena tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum TNI harus diusut secara hukum, terlepas dari adanya kesepakatan damai antara korban dan pelaku.
“Kasus ini sudah viral. Demi tegaknya wibawa TNI, saya pikir TNI harus tetap mengambil sikap tegas. Jangan sampai karena sudah saling memaafkan, kasus ini dilupakan begitu saja,” lanjut Edi.
Ia menegaskan, penganiayaan yang dilakukan tanpa bukti yang jelas sangat membahayakan.
Jika tindakan semacam ini tidak diproses dengan baik, maka akan ada anggota TNI lainnya yang merasa bebas melakukan kekerasan tanpa konsekuensi, dengan alasan bahwa mereka bisa dimaafkan setelahnya.
“Saya mendesak agar Panglima TNI segera mengontak Pangdam dan meminta agar kasus ini ditangani serius. Ini adalah tindakan yang memalukan dan tidak boleh dibiarkan,” ujar Edi dengan tegas.
Ia menambahkan, meskipun restorative justice merupakan hak bagi korban, pimpinan TNI harus memastikan bahwa ini tidak menjadi preseden buruk yang bisa merusak moral dan etika dalam institusi TNI.
Anggota TNI, kata Edi, harus diajarkan untuk bertindak sesuai hukum dan tidak melakukan tindakan main hakim sendiri di lapangan.
“Jika mereka menemukan dugaan tindak pidana, mereka harus melaporkannya kepada pihak yang berwenang, bukan langsung melakukan penganiayaan,” tegasnya.
Dr. Siprianus Edi Hardum, S.IP.,S.H.,M.H yang juga Dosen Ilmu Hukum Pidana di FH Universitas Tama Jagakarsa Jakarta kembali mengingatkan bahwa ini adalah delik umum, bukan delik aduan, sehingga Polisi Militer harus segera turun tangan tanpa menunggu laporan formal.
Tindakan ini merupakan bagian dari fungsi dan tanggung jawab Polisi Militer, dan tidak boleh ada pembiaran terhadap pelanggaran yang terjadi.
Pewarta : Dody Pan
0 Comments