PALI – Debu tebal membumbung, lubang-lubang menganga di badan jalan, dan suara deru truk logging serta angkutan batu bara jadi pemandangan sehari-hari di Simpang Raja dan sekitarnya, PALI. Warga sudah gerah. Rabu (13/8/2025), puluhan massa dari Pemuda Panca Marga (PPM) Kabupaten PALI turun ke jalan, menggelar aksi damai menuntut perbaikan.
Massa yang dipimpin Dedi Suseno itu mendesak dua perusahaan besar—PT Musi Hutan Persada (MHP) dan PT Bara Sumatra Energi (BSE)—untuk segera memenuhi empat poin tuntutan, mulai dari penataan lalu lintas, pembangunan stockpile, penyediaan rest area dan parkiran, penyaluran CSR, penyiraman jalan rutin, pembangunan drainase, hingga pengutamaan tenaga kerja lokal.
Usai berorasi di jalur logging PT MHP, Simpang Raja, massa bergerak menuju Kantor Bupati PALI. Rombongan disambut langsung Wakil Bupati PALI, Iwan Tuaji, S.H., yang berjanji akan mengundang pihak perusahaan pada sekitar tanggal 20 Agustus untuk membahas tuntutan tersebut.
Menanggapi dinamika tersebut, Albar Sentosa Subari, SH, SU, Ketua Lembaga Adat Peduli Marga Batang Hari Sembilan yang juga mantan akademisi Universitas Sriwijaya, memberikan pandangannya.
“Saya sebagai ketua lembaga adat, mengharapkan kepada para pihak—baik perusahaan maupun pemerintah daerah—untuk dapat memperhatikan beberapa tuntutan para demonstran. Tuntutan tersebut tidak hanya menyangkut perbaikan fisik jalan atau masalah teknis semata, tetapi juga menyentuh martabat dan keberlangsungan kehidupan masyarakat lokal,” ujar Albar.
Ia menegaskan bahwa jalan yang baik, lingkungan yang sehat, dan kesempatan kerja yang adil merupakan bagian dari hak masyarakat adat yang sudah turun-temurun tinggal di wilayah PALI.
Menurut Albar, wilayah Marga Batang Hari Sembilan memiliki sejarah panjang dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan alam dan kelestariannya. “Dalam adat kami, ada prinsip tanah serasan sekate—artinya tanah dan lingkungan adalah titipan untuk generasi mendatang. Bila lingkungan rusak dan debu beterbangan, itu bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga tanda bahwa kita lalai menjaga amanah leluhur,” ungkapnya.
Ia menilai, aktivitas angkutan kayu dan batu bara yang melintas di kawasan pemukiman tanpa pengendalian menyalahi nilai-nilai adat yang menempatkan kenyamanan masyarakat sebagai prioritas. “Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi di tanah yang punya sejarah, punya budaya, dan punya tata nilai. CSR itu bukan sekadar kewajiban hukum, tapi bagian dari rasa hormat kepada tuan rumah,” tegasnya.
Albar mengusulkan agar pertemuan yang akan digelar pemerintah daerah dengan perusahaan tidak hanya membicarakan teknis perbaikan, tetapi juga memasukkan muatan adat dalam kesepakatan.
“Libatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, dan perwakilan pemuda. Kita punya mekanisme musyawarah mufakat yang sudah terbukti menjaga harmoni sejak zaman nenek moyang. Jangan sampai masalah ini berkembang menjadi gesekan sosial,” pungkasnya.
Dengan demikian, ia berharap persoalan jalan rusak dan debu bukan hanya selesai di atas kertas, tetapi juga menjadi titik awal untuk mengembalikan keharmonisan antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat adat di Bumi Serepat Serasan.(HY).