Palembang — Suhu politik Sumatera Selatan pasca Pilkada 2024 kembali memanas. Sengketa hukum terkait dugaan pembagian paket sembako oleh pasangan Herman Deru–Cik Ujang (HDCU) menjelang masa tenang berbuntut panjang di meja hijau. Gugatan yang diajukan Lembaga Pengawasan Pemilu Suara Rakyat (LPP Surak) dan Edy Santana Putra (ESP) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang resmi diputus pada awal Juli 2025 dengan hasil yang sama: Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima.
Sidang perkara nomor 14/G/TF/2025/PTUN.PLG yang diajukan LPP Surak diputus pada 3 Juli 2025. Majelis hakim mengabulkan eksepsi Bawaslu Sumsel selaku tergugat terkait kompetensi absolut. Hakim menilai sengketa ini tidak masuk ranah PTUN, melainkan sengketa pemilu yang semestinya diselesaikan melalui Bawaslu atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Konsekuensinya, gugatan LPP Surak tidak dapat diterima dan penggugat dibebankan biaya perkara sebesar Rp373.000. Sementara perkara serupa dengan nomor 8/G/TF/2025/PTUN.PLG atas nama Edy Santana Putra melalui kuasa hukum Nikosa Yamin Bachtiar juga bernasib serupa.
Gugatan ini bermula dari tudingan pembagian paket sembako menjelang masa tenang Pilkada 2024 yang diduga dilakukan pasangan HDCU. LPP Surak menilai Bawaslu Sumsel lalai menindaklanjuti laporan masyarakat terkait peristiwa tersebut. Kuasa hukum LPP Surak, Thabrani, SH, menegaskan objek sengketa bukan lagi soal tahapan Pilkada, melainkan perbuatan faktual — tindakan diam (inactie) lembaga publik yang dianggap melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad).
Menurut Thabrani, tindakan Bawaslu yang memilih diam membuka celah kerugian publik dan melemahkan pengawasan pemilu. “Ini bukan lagi soal sengketa hasil, tetapi pembiaran praktik politik uang yang merusak demokrasi,” ujarnya.
Menjelang pembacaan putusan, tepatnya 2 Juli 2025, puluhan warga yang sebagian besar ibu-ibu majelis taklim menggelar aksi damai di depan kantor PTUN Palembang. Meski dikaitkan dengan gugatan LPP Surak, Ketua LPP Surak Syapran Suprano menampik keterkaitan aksi tersebut dengan langkah hukum lembaganya. “Tidak ada hubungannya secara langsung dengan gugatan kami,” jelasnya.
Humas PTUN Palembang, Muhammad Rasyid Ridho, membenarkan bahwa para pihak masih memiliki waktu 14 hari untuk mengajukan banding. LPP Surak dipastikan mengambil langkah itu. “Kami sedang finalisasi memori banding. Putusan ini tidak tepat karena mengabaikan unsur perbuatan melawan hukum oleh badan publik,” tegas Syapran.
Sementara itu, nasib gugatan ESP masih menunggu keputusan tim kuasa hukum. Publik kini menunggu bagaimana Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara akan menilai ulang ruang lingkup kewenangan PTUN terhadap tindakan faktual lembaga pengawas pemilu.
Sengketa ini membuka wacana penting: apakah tindakan diam lembaga pengawas dapat ditarik ke ranah hukum tata usaha negara? Atau tetap berada dalam koridor penyelesaian sengketa pemilu melalui mekanisme Bawaslu dan DKPP? Jawaban dari tingkat banding akan menjadi preseden baru dalam penegakan etika pemilu.
Di satu sisi, jika banding diterima, Bawaslu Sumsel berpotensi diminta bertanggung jawab atas sikap pasifnya. Di sisi lain, ini menjadi sinyal bagi Bawaslu di daerah lain untuk lebih aktif menindak pelanggaran politik uang bahkan di luar tahapan resmi pemilu.
Sampai berita ini diterbitkan, LPP Surak memastikan perlawanan hukumnya belum usai. Gugatan boleh kandas di tingkat pertama, tetapi arena banding menanti. Semua pihak kini menanti: akankah sikap diam lembaga pengawas tetap kebal hukum, atau justru jadi pintu masuk penguatan akuntabilitas pemilu ke depan?.**(PJS)**.