Bangka Tengah, saranainformasi.com – Mengulik keunikan adat budaya turun temurun di Dusun Tanjungberikat, Desa Batuberiga, Kecamatan Lubukbesar, Kabupaten Bangka Tengah (Bateng), terkait pinjaman modal usaha dari bos selaku pemodal dengan para nelayan yang kedepankan rasa keluargaan dan kepercayaan tanpa memerlukan perjanjian hitam di atas putih berbubuhkan materai.
Tradisi adat sistem tersebut, ternyata sudah berlangsung lama, hingga puluhan tahun lalu, bahkan hingga kini tetap bertahan, kendati di era modern ini ada bank-bank yang bisa pinjamkan modal. Namun, adat kebiasaan antara bos dan nelayan khususnya di Desa Batuberiga, khususnya di Dusun Tanjungberikat tetap tak lekang dalam bingkainya yaitu “Kekeluargaan” dan “Kepercayaan”.
*Pinjaman Modal Sistem Cicil Tanpa Bunga*
Anggota BPD Batuberiga, Andro (38) didampingi Rozali atau akrab disapa mang Jali selaku tetua dusun setempat membenarkan, di Dusun Tanjungberikat ini, sudah puluhan tahun silam sistem pinjaman hutang modal para nelayan tangkap ikan, udang, cumi hingga kepiting didapatkan dari para pemodal yang biasa disebut “bos”.
“Betul, adat kebiasaan disini, dari puluhan tahun dulu sudah seperti itu pak. Saat ini di Berikat ada 80 KK yang 80 persen masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan,” ungkap Andro kepada awak media di Tanjungberikat, Minggu siang (15/12/2024).
Menurutnya, jika ada nelayan baru akan memulai melaut, pinjaman modal bisa ditafsir tembus Rp.70juta “all-in” ditanggung “Bos”, termasuk perahu, mesin perahu tempel 18 atau 20 PK, alat tangkap nelayan dan perlengkapan lainnya, termasuk ransum sembako dibutuhkan selama melaut, hingga kebutuhan keluarga di rumah agar asap dapur tetap bisa ngebul, hingga anak-anak bisa bersekolah ataupun kuliah.
“Tentunya, kebutuhan melaut itu bukan modal kecil pak. Bahkan, jika ada kerusakan entah itu mesin ataupun alat tangkap seperti jaring, tentu si nelayan tadi, pinjam lagi modal ke bos tempatnya berhutang,” katanya.
Andro mengungkapkan, dalam sistem piutang pinjaman modal disini, tanpa ada bunga pinjaman. Artinya, jika nelayan piutang pinjaman di awal tadi sampai Rp.70juta, maka tetap nilainya seperti itu, diangsuri, tanpa limit waktu ditentukan. Bisa bertahun-tahun, belasan tahun, atau ada yang hingga sampai nelayannya meninggal dunia.
“Ya diangsuri pinjamannya, saat pulang dari melaut, misalnya hasil tangkapan laut nelayan mulai dari ikan, udang, cumi hingga kepiting dihargai oleh Bos totalnya Rp.500ribu, maka biasanya nelayan akan mengangsuri hutang pinjamannya Rp.50ribu hingga Rp.100ribu. Tapi, jika hasil tangkapan sedikit atau kurang dari Rp.300ribu, nelayan diberikan keringanan seikhlasnya atau bahkan tidak dipotong angsuran pinjaman modal,” ungkapnya.
“Intinya, jika pinjaman nelayan tadi belum lunas, maka kasarnya, peralatan tangkap masih tetap milik bos pemodal. Ya ibaratnya seperti kita ambil kredit sepeda motor lah pak, kalau belum lunas kan belum hak milik kita sepenuhnya, sederhananya belum dapat BPKB nya,” katanya.
Sejauh ini, sistem kekeluargaan dan kepercayaan tersebut berjalan langgeng tanpa kendala.
“Jika nelayan yang pinjam modal tadi mau berhenti atau pun meninggal dunia, biasanya alat tangkap yang jadi modal di awal tadi, dijual. Jika dirasa cukup sesuai, maka kedua belah pihak sama-sama mengikhlaskan. Namun, ada juga nelayan yang meninggal, jika sisa utangnya sudah sedikit ya diikhlaskan oleh bos pemodal, namun jika masih cukup banyak, maka peralatan tangkap diambil kembali oleh bos atau dirembukkan kembali dengan pihak keluargan. Intinya, disini tetap menjunjung tinggi nilai serumpun, kekeluargaan dan kepercayaan,” ulasnya.
*Lebih Manusiawi, Pinjaman Modal Tanpa Bunga dan Ketentuan Limit Waktu*
Sahrial (44), salah seorang nelayan Tanjungberikat didampingi puluhan nelayan yang hadir berkumpul saat kunjungan awak media di kampung mereka, membenarkan jika sistem pinjaman modal usaha antara Bos dengan nelayan dari dahulu hingga sekarang memang seperti itu adanya.
“Alasan mengapa kami lebih memilih pinjam modal ke bos ketimbang pinjam modal usaha ke bank. Karena pinjaman ke Bos disini, tanpa bunga, tanpa ketentuan batas waktu pelunasan, hanya cukup dengan sistem kekeluargaan dan kepercayaan, tanpa perjanjian bermaterai hitam di atas putih. Sementara pinjaman ke bank, apakah bisa seperti itu? Maka dari itu, kami punya tanggung jawab moral menjaga kepercayaan dari pemodal untuk saling memikirkan dengan hati nurani kedua belah pihak, tanpa niat saling khianati atau saling akal-mengakali,” ungkapnya.
Untuk berapa nilai angsuran dari pinjaman modal yang wajib dibayarkan setiap kali pulang melaut?, Sahrial mengungkapkan, jika itu tergantung dari hasil tangkapan, kalau hasil tangkapan laut lagi banyak, bisa diangsuri Rp.100ribu, tapi kalau lagi sedikit, bos pun mengerti, dan tidak memaksakan nelayan untuk mengangsuri modal pinjaman.
“Tentunya, ini lebih manusiawi, hanya saja kepercayaan bos ke kita itu harus betul-betul dijaga,” ulasnya, seraya mengungkapkan jika nelayan di Berikat ini ada yang berasal dari luar dusun juga.
*Keuntungan Bos dari Harga Jual di Pasaran*
Sementara itu, Sahandi (39) akrab disapa Bang Gendut sapaan akrabnya d, sebagai pemodal dan pengepul dirinya yang saat ini berusia hampir kepala empat itu, melakoni bisnis ikan ini meneruskan usaha ayahnya, sejak dirinya masih duduk di bangka SD kelas 5.
“Ayah saya melakoni bisnis ikan sejak lama, saat saya kelas 5 SD, ayah saya meninggal dunia. Sejak saat itu, saya meneruskan usaha ini dengan tetap berpedoman sistem kekeluargaan dan kepercayaan dengan nelayan yang butuh modal melaut,” ungkap Bang Gendut didampingi pengepul lainnya, Abot (36).
Ia juga mengungkapkan, di Dusun Tanjungberikat saat ini setidaknya ada 5 bos ikan yang bekerjasama dengan nelayan diantaranya dirinya, Abot, Leni, dan dua pengepul lainnya yang menerapkan sistem yang sama turun temurun karena warga disini secara historis merupakan “serumpun” yaitu kekeluargaan dan kepercayaan.
“Kekeluargaan dan Kepercayaan, itu sudah adatnya. Jadi sejak berpuluh tahun lalu, antara bos selaku pemodal dengan nelayan, tidak ada sama sekali perjanjian tertulis hitam diatas putih bermaterai ataupun memakai jaminan segala. Jika ada kendala selama ini, semua diselesaikan dengan kekeluargaan,” katanya.
Termasuk, jika salah seorang nelayan ingin pindah bos, maka sisa sangkutan pinjaman atau hutang modal sebelumnya diselesaikan oleh bos baru kepada bos lama.
Kemudian, timbul pertanyaan, jika pembayaran hutang pinjaman nelayan dengan cara dicicil seadanya tanpa limit waktu ditentukan, lantas dimana dan bagaimana Bos mendapatkan margin atau keuntungan dari sistem demikian.
Secara gamblang Bang Gendut mengungkapkan, jika mengharap dari cicilan dari nelayan, mungkin bisa tahunan, belasan tahun, puluhan tahun atau bisa juga sampai meninggal dunia baru lunas.
“Ya cicilan tidak ditentukan, kalau nelayan lagi dapat hasil melautnya banyak paling mencicil pinjaman Rp.100ribu, kadang ada juga yang mencicil Rp.20ribu, kadang juga kalau hasil tangkapan sedikit, kami tak tega juga. Maka dari itu, logikanya wajar kalau pinjaman modal awal baru bisa lunas hingga bertahun-tahun lamanya. Namun bagi kami disini, semua itu sudah jadi adat turun temurun, tetap akur, karena sekali lagi pada mulanya warga di dusun ini adalah serumpun,” ulasnya.
Untuk margin sendiri, setiap nelayan yang meminjam modal, maka hasil tangkapan melautnya dijual ke pemodal, kemudian ikan, udang, cumi hingga kepiting dihargai dengan harga yang pantas.
“Dari hasil tangkapan yang dihargai dengan nilai uang itulah, nelayan mencicil hutang. Kami pun menjual hasil nelayan ke pasar atau tempat pelelangan, dengan mengikuti harga pasar. Sehingga ada selisih harga jual kembali, itulah margin yang kami dapat selaku pemodal,” ungkapnya.
“Ya, intinya, kami jual kembali ikan, udang, cumi ataupun kepiting dengan harga pasaran, sehingga kami memperoleh sedikit keuntungan pak. Seperti itulah sistem bisnis di kampung kami yang sudah jadi adat turun temurun,” ungkapnya.
(*/Red/LK/And/RB)
0 Comments