Palembang, 4 September 2025 –
Ruang sidang itu awalnya biasa saja. Deretan kursi kayu berderit pelan ketika pengunjung duduk, kertas-kertas berdesir di tangan panitera, dan suara berbisik kecil sesekali terdengar di antara pengunjung. Namun semua riuh kecil itu mendadak sirna ketika hakim mempersilakan penasihat hukum terdakwa maju membacakan eksepsi.
Semua mata mengarah pada meja hijau. Dari kursi terdakwa, Brisvo—mantan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI)—duduk tegak. Sorot matanya tajam, sesekali menunduk, seolah menahan sesuatu yang sejak lama ingin ia keluarkan.
Lalu, suara lantang Musmulyadin SH Cpl, kuasa hukumnya, memecah kesunyian. Eksepsi yang biasanya sekadar bantahan atas dakwaan, kali ini berubah menjadi panggung pengungkapan. Dengan intonasi tegas, ia membacakan keterangan yang disebut berasal dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
“Bahwa aliran uang dari terdakwa juga diterima dan dinikmati oleh saudari SK selaku Ketua Dekranasda Kabupaten PALI. Penerimaan itu turut disaksikan oleh HT selaku bendahara Dekranasda,” ucap Musmulyadin.
Seolah sebuah bom meledak, ruangan bergemuruh. Beberapa orang saling berpandangan, sebagian lagi berbisik menahan keterkejutan. Nama besar yang disebut itu bukan sekadar figur publik biasa. Ia adalah tokoh berpengaruh yang selama ini identik dengan lingkaran elit daerah.
Kasus ini berawal dari program Disperindag PALI pada 2023. Pelatihan, pengadaan batik, anyaman, ukiran kayu—semua tampak indah di atas kertas. Namun hasil audit BPKP Sumsel justru mengungkap wajah lain: sebagian besar kegiatan fiktif belaka. Negara dirugikan Rp1,7 miliar dari total anggaran Rp2,7 miliar.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Brisvo bersama rekannya, Muhtanzi Basyir. Namun bagi Brisvo, dirinya hanyalah pion dalam permainan besar. “Mengapa hanya saya yang duduk di kursi ini? Mengapa nama lain yang juga disebut dalam BAP dibiarkan berjalan bebas?” begitu sindir Musmulyadin, membuat suasana semakin menegang.
Eksepsi itu menohok bukan hanya dakwaan, melainkan juga logika penegakan hukum. Dakwaan dianggap tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Musmulyadin menyinggung nama-nama lain—AP, RAP, hingga tenaga ahli—yang disebut turut mengetahui aliran dana, namun tak tersentuh.
Majelis hakim yang dipimpin Pitriadi SH MH tampak serius. Tak ada senyum, tak ada jeda ringan. Hanya ketukan palu kecil menertibkan suasana saat ruangan mulai riuh. Dari kursi pengunjung, terdengar helaan napas panjang, seakan menunggu apa lagi yang akan terungkap.
Brisvo sendiri lebih banyak menunduk. Sesekali ia mengusap wajah, seakan menanggung beban yang terlalu lama dipikul seorang diri. Di hadapannya, aparat kejaksaan tetap berdiri tegak dengan berkas-berkas tebal.
Bagi masyarakat PALI, sidang ini bukan sekadar rangkaian hukum. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali luka lama: kecurigaan bahwa uang rakyat kerap dijadikan permainan. Nama besar yang terseret menambah sensasi. Sebab, publik tahu, ketika nama itu disebut, bukan hanya kasus hukum yang dipertaruhkan, melainkan juga citra kekuasaan.
Di warung kopi hingga kantor desa, percakapan tentang Rp932 juta itu mulai mengalir. “Apakah hukum akan benar-benar tegak, ataukah hanya menunduk di hadapan bayang-bayang kekuasaan?” begitu bisik sebagian warga.
Kini, semua menanti langkah majelis hakim: apakah eksepsi Brisvo diterima, atau sidang akan tetap dilanjutkan dengan dakwaan JPU?
Apapun hasilnya, sidang ini sudah menorehkan catatan tersendiri. Ia mengajarkan bahwa ruang pengadilan bukan sekadar tempat memutuskan salah dan benar, tapi juga panggung di mana kebenaran bisa tiba-tiba menyeruak, meski pahit untuk diterima.
Dan di Palembang, pada hari itu, sebuah nama besar resmi masuk ke dalam pusaran. Publik hanya bisa menunggu, dengan harap cemas yang menggantung di udara, apakah keadilan akan berdiri tegak, atau kembali terperangkap dalam bayang kekuasaan.
Sumber informasi dikutip dari laman media Sumek.disway.id. dan detik.com.
Editor pengembangan Naska: Redaksi SI.