Miris memang, dunia pers di PALI (Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir Red.) saat ini tampaknya sedang sakit, dan sayangnya belum ada yang mau jadi dokternya. Banyak oknum yang mengaku wartawan, namun kaidah-kaidah jurnalistik hanya mereka kenal sebatas kata, bukan laku. Aturan 5W+1H? Mungkin mereka pikir itu nomor undian. Kode etik peliputan? Sepertinya cuma hiasan di dinding kantor redaksi—kalau kantornya memang ada.
Alih-alih melakukan konfirmasi, mereka lebih suka menulis berita berdasarkan opini pribadi yang tendensius dan provokatif. Bila ada kesalahan? Klarifikasi hanyalah kata asing yang tidak tercatat di kamus mereka. Yang penting klik naik, komentar gaduh, dan saku terisi.
Tak jarang, oknum ini menjadikan pena sebagai senjata pemerasan. Pejabat yang tak memenuhi “permintaan” akan dihadiahi berita buruk. Ironisnya, produk mereka bukanlah jurnalisme, melainkan sajian ujaran kebencian—lengkap dengan bumbu fitnah—yang siap merusak reputasi siapa pun yang tersaji di meja mereka.
Seperti kata sesepuh jurnalis PALI, Hengky Yohanes, perilaku seperti ini membuat nama baik semua wartawan tercoreng. Satu busuk, satu gerbong berbau. Padahal, sejatinya wartawan adalah pengawal kebenaran, bukan makelar kegaduhan.
Masyarakat pun harus cerdas. Jangan telan mentah-mentah semua yang disajikan media. Ada berita yang bergizi, ada pula yang cuma gorengan basi. Pilihlah sumber yang kredibel, agar tidak ikut menjadi korban provokasi.
Dan terakhir—pemerintah, aparat, atau siapa pun yang berwenang—jangan ragu untuk menindak tegas oknum yang menyalahgunakan profesi. Jika tidak, pilar keempat demokrasi ini akan berubah jadi pilar tenda pasar malam: riuh, ramai, tapi tak ada yang kokoh.
Catatan redaksi.