Madura — Di sudut pesisir Madura, panas terik dan angin laut sejak dulu jadi teman setia para petani garam. Tapi di balik kristal putih itu, hidup petani garam berjalan di atas cuaca: kadang untung besar, seringkali buntung. Ketidakpastian harga, cuaca ekstrem, hingga pasokan air bersih jadi tantangan menahun.
Namun semua berubah berkat tangan dingin kampus. Universitas Trunojoyo Madura bersama mitra internasional dan dukungan penuh Kemendiktisaintek, lewat proyek Harvesting Hope, menghadirkan teknologi yang merombak wajah pertanian garam tradisional.
Tak sekadar bertahan, kini petani Madura bisa memanen emas putih berstandar ekspor, budidaya rumput laut berkualitas, hingga menikmati air bersih dan listrik dari matahari di lahan yang sama.
Teknologi kunci di balik revolusi ini bernama poligenerasi — sistem terintegrasi yang memanfaatkan panas matahari untuk:
1.Mengeringkan garam dengan kualitas ekspor,
2. Menyuling air laut menjadi air minum melalui desalinasi,
3. Membudidayakan rumput laut bernilai tinggi,
4. Dan menghasilkan listrik lewat Rankine Cycle serta panel surya.
“Dulu petani hanya bergantung pada garam. Sekarang mereka punya tiga komoditas: garam, rumput laut, dan air bersih. Listrik pun mereka hasilkan sendiri,” kata Assoc. Prof. Wahyudi Agustiono, Ph.D, otak di balik proyek visioner ini, Senin (21/7/2025).
Dalam delapan jam beroperasi, satu unit poligenerasi bisa memproduksi air layak minum senilai Rp500 ribu per hari — dijual lebih murah dari harga air kemasan di pasaran. Penghasilan tambahan pun datang dari panen rumput laut dan stabilnya produksi garam. Listrik murah membuka peluang UMKM energi mandiri di desa pesisir.
Di balik teknologi mutakhir ini, mahasiswa tak sekadar jadi penonton. Mereka turun ke lapangan, memetakan masalah, dan merumuskan solusi langsung.
Salah satu inovasi datang dari tim mahasiswa yang merancang pintu air otomatis untuk menjaga kadar salinitas tambak rumput laut. “Ide itu lahir dari lapangan, bukan semata-mata teori di kelas,” kata Wahyudi.
Proyek ini sejalan dengan program Kampus Berdampak yang digaungkan Kemendiktisaintek: riset yang membumi, mahasiswa yang berdaya cipta, masyarakat yang menuai manfaat.
Dampak nyata Harvesting Hope menarik perhatian perguruan tinggi top dunia. Newcastle University dan MIT University Melbourne kini terlibat memperkuat kolaborasi riset Indonesia-Australia lewat program KONEKSI.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Fauzan, M.Pd, bahkan menyebut proyek ini sebagai ekosistem riset ideal yang menyatukan mahasiswa, dosen, petani, dan mitra global.
“Ini bukan riset untuk jurnal semata, tapi riset untuk solusi nyata. Locally rooted, globally impacted, itulah intinya,” ujar Wahyudi.
Dari Madura, teknologi membumi ini menyalakan harapan. Garam bukan sekadar komoditas musiman, tapi pintu menuju kemandirian pangan, energi, dan ekonomi.
Di lahan yang sama, harapan itu kini mengkristal bersama garam berkualitas, mengalir dalam air bersih yang jernih, dan menyala lewat panel surya yang menerangi desa-desa.
Harvesting Hope membuktikan: jika kampus mau turun ke rakyat, riset bisa menumbuhkan peradaban — dan masa depan bisa dipanen hari ini, bukan sekadar diimpikan besok. Red.