Opini : Eddi Saputra
PALI – Di negeri kecil bernama PALI, dua aparatur negara yang semestinya jadi pengayom rakyat justru menjelma menjadi aktor dalam panggung korupsi yang membusuk dari dalam. Mereka bukan sekadar pengelola program, tapi perajut skenario manipulatif yang membuat anggaran negara raib seakan lenyap ditelan tanah. Ironisnya, dalang di balik drama busuk ini belum tersentuh hukum, dan kabarnya masih bisa tersenyum tenang sambil menyaksikan dua pionnya diarak ke penjara.
Kejaksaan Negeri Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) resmi menetapkan dua ASN sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan pelatihan fiktif tahun anggaran 2023 di Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag). Kasus ini menyeret kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar dari total anggaran proyek senilai Rp 2,7 miliar.
Mereka adalah BD, pejabat aktif yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta MB, seorang ASN berstatus PPPK sekaligus Direktur CV Restu Bumi, rekanan tunggal yang memenangkan delapan paket pelatihan yang belakangan diketahui fiktif.
Dalam konferensi pers pada Kamis, 12 Juni 2025, Kepala Kejaksaan Negeri PALI, Farriman Isandi Siregar, melalui Kepala Seksi Pidana Khusus, Enggi Elber, dan Kasi Intel Rido Dharma Hermando, mengungkap modus licik yang terstruktur dan rapi.
“Semua sudah diskenariokan. Delapan paket pekerjaan dipecah agar bisa penunjukan langsung. Pemenang sudah dikondisikan. Ada komitmen fee 10 persen. Tapi tidak ada pelatihan yang benar-benar dilakukan,” ujar Enggi, suaranya tenang, namun setiap kalimatnya menusuk nurani.
Uang mengalir. Kegiatan tak pernah ada. Laporan fiktif disusun dengan rapi. Dana dicairkan. MB menikmati sebagian, sisanya dikembalikan ke BD. Sebuah simbiosis korupsi antara dua sahabat lama yang pernah sekantor dan kini sekasur dalam sel pengadilan keadilan.
Namun publik pasti bertanya. Apakah hanya mereka berdua? Apakah BD, sebagai pengguna anggaran, cukup berani memakan sendiri jatah fee 10% dari Rp 2,7 miliar?
Yang terjadi lebih mirip sandiwara. Pemain utama yang tertangkap hanyalah dua figuran. Sementara sutradara sebenarnya—yang memberi perintah, mengatur proyek, dan menikmati hasil masih bersembunyi dalam gelap, menyaksikan semuanya dengan senyum sinis.
Penyidikan dimulai sejak Januari 2025 dan meningkat ke tahap penyidikan pada 3 Maret. Paku terakhir diketok pada 28 Mei, saat hasil audit BPKP menyatakan negara merugi Rp 1,7 miliar. Tak ada celah bagi BD dan MB untuk mengelak. Bukti kuat, saksi, dan dokumen resmi membuat status tersangka mereka tak terbantahkan.
Penetapan status tersangka dilakukan cepat. Setelah pemeriksaan sebagai saksi, hanya berselang satu hingga dua jam, keduanya langsung dijebloskan ke Lapas Kelas IIB Muara Enim untuk memperlancar penyidikan lanjutan.
“Alat bukti sudah cukup. Status langsung kami naikkan. Tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain jika bukti mendukung,” tegas Enggi.
Kalimat ini seharusnya menjadi pintu bagi publik untuk berharap: bahwa hukum tidak akan berhenti pada mereka yang mudah ditangkap, namun juga akan menembus pagar-pagar kebal kekuasaan, hingga ke aktor utama di balik panggung korupsi ini.
Dipastikan. Hari ini, masyarakat hanya bisa bertanya dengan getir: siapa dalang sebenarnya?
Karena korupsi ini terlalu rapi untuk hanya dijalankan dua orang. Terlalu sistemik untuk tidak ada pembiaran. Dan terlalu terorganisir jika hanya sekadar aksi spontan dua ASN biasa.
Betapa bodohnya mereka yang menerima perintah tanpa perlindungan. Yang rela menggadaikan nama baik keluarga hanya demi bagian kecil dari kue kotor. Sedangkan di luar sana, sang penikmat utama masih bisa ngopi dengan santai, membaca berita penahanan sambil tertawa lirih.
Penjara mungkin sudah menunggu BD dan MB. Namun keadilan sejati belum hadir, sebelum semua pihak yang terlibat dalam pusaran ini diseret ke hadapan hukum tanpa pandang bulu, tanpa tawar-menawar.