Sosial  

‎EDITORIAL | BEBAN DIBALIK KEMERIAHAN KARNAVAL ‎

Di tiap Agustus, pemerintah daerah selalu menggelar karnaval pembangunan sebagai wujud pelestarian tradisi dan semangat nasionalisme. Tak terkecuali di Kabupaten Penukal Abang Lematang Ilir (PALI). Anak-anak sekolah didandani dengan pakaian adat, wajah mereka dirias dengan penuh antusias, dan barisan demi barisan berjalan menyusuri jalan protokol—disambut tepuk tangan, disorot kamera, dan menjadi konten kebanggaan di media sosial.

‎Namun, di balik gemerlap kostum dan senyum kamera, ada realitas yang perlu dicermati lebih dalam: beban ekonomi yang tak sedikit bagi sebagian besar orang tua siswa.

‎Salah satu suara yang mencuat dan patut direnungkan datang dari tempat yang tak terduga—dari balik Lapas Kelas II B Muara Enim. Seorang ayah, Hadi Sucipto (46), menyampaikan keresahannya melalui sebuah surat terbuka kepada Pemerintah Kabupaten PALI. Ia bercerita bagaimana istrinya harus mencari pinjaman demi menyewa baju adat dan membayar make-up, agar anak mereka bisa ikut karnaval seperti teman-temannya. Hadiah? Hanya piala dan piagam. Penghargaan moral? Kadang tak cukup untuk menggantikan biaya yang dikeluarkan.

‎Surat ini bukan sekadar curahan hati seorang narapidana. Ini adalah cermin realitas sosial yang selama ini terpinggirkan oleh euforia acara seremonial. Kita terlalu sering lupa bahwa tidak semua keluarga punya kemampuan ekonomi yang cukup untuk mengikuti standar “layak tampil” dalam sebuah kegiatan sekolah yang seolah wajib.

‎Karena itu, redaksi memandang perlu bagi Pemerintah Kabupaten PALI untuk melihat kembali substansi dari kegiatan karnaval. Apakah masih relevan dengan semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi nilai utama budaya kita? Ataukah telah menjelma menjadi ajang kompetisi visual yang menambah beban ekonomi masyarakat?

‎Editorial ini tidak sedang menyerang pemerintah. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan untuk berbenah bersama. Karnaval seharusnya menjadi pesta rakyat yang inklusif, bukan hanya untuk yang mampu menyewa kostum paling mewah. Pemerintah daerah harus hadir memberikan solusi—baik melalui subsidi, penyediaan fasilitas kostum bersama, maupun perubahan format kegiatan yang lebih mendidik daripada sekadar menampilkan parade.

‎Surat dari balik jeruji ini, mungkin tak semewah pidato kenegaraan. Tapi ia jujur, tulus, dan datang dari hati seorang ayah yang hanya ingin anaknya bisa bangga menjadi bagian dari bangsanya, tanpa harus membayar terlalu mahal untuk sekadar tampil.

‎Pemerintah boleh merancang acara semeriah apa pun. Tapi bila rakyat kecil harus berutang untuk berpartisipasi, maka yang semestinya dirayakan bukan kemerdekaan, melainkan kepekaan.

‎Redaksi

Petikan surat yang diterima redaksi:

1. Agar kegiatan karnaval di masa mendatang dapat dirancang dengan lebih inklusif dan tidak membebani secara finansial, terutama bagi siswa dari keluarga ekonomi lemah.

‎2. Pemerintah daerah kiranya dapat menyediakan bantuan berupa subsidi atau anggaran khusus kepada sekolah untuk mendukung partisipasi siswa.

‎3. Disarankan pula agar tersedia galeri atau gudang kostum milik pemerintah yang dapat dipinjam oleh sekolah-sekolah, sehingga beban sewa bisa dikurangi atau dihilangkan.

‎4. Bila memungkinkan, kegiatan budaya seperti ini lebih diarahkan kepada partisipasi yang edukatif, bukan hanya kompetisi yang menekankan tampilan fisik atau visual semata.

‎Saya menyampaikan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Saya yakin niat baik selalu mendasari kebijakan pemerintah daerah. Namun, sebagai seorang ayah, saya hanya ingin anak saya merasakan makna dari sebuah kegiatan budaya tanpa harus menjadi beban bagi ibunya yang kini berjuang seorang diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

WARNING: DILARANG COPAS