Mangrove yang Hilang: Kegagalan Penegakan Hukum di Bangka dan Dampaknya pada Kehidupan Nelayan


11 shares

Penulis: Adinda Putri Nabiilah, S.H., C.IJ., C.PW. (Editor KBO Babel)

Bangka Belitung, saranainformsi.com – Aktivitas tambang timah ilegal di kawasan Hutan Mangrove Sungai Rumpak, Belinyu, Kabupaten Bangka, bukanlah fenomena baru. Namun, eskalasinya yang terus terjadi, bahkan setelah pemasangan spanduk larangan oleh pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bubus Panca, menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa penindakan oleh Polres Bangka dan Polda Kepulauan Bangka Belitung begitu lambat?
Ketidakmampuan aparat dalam menangani permasalahan ini telah berdampak serius pada ekosistem lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat, terutama nelayan kecil.

Dampak Sosial-Ekonomi: Nelayan Kehilangan Mata Pencaharian

Hutan mangrove Sungai Rumpak adalah ekosistem penting yang berfungsi sebagai habitat alami bagi ikan, kepiting, dan udang. Kehancuran mangrove akibat aktivitas tambang ilegal telah menghancurkan sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup nelayan kecil. Ali dan Eko Sanjaya, nelayan setempat, adalah contoh nyata korban dari lambannya penegakan hukum. Mereka kini kehilangan tempat mencari nafkah dan terpaksa hidup dalam ketidakpastian ekonomi.

“Kami tak tahu lagi harus mencari nafkah di mana,” kata Eko dengan nada pilu. Pernyataan ini mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak ekonomi rakyat kecil. Pasal 33 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

Kerusakan Ekosistem dan Pelanggaran Hukum
Kerusakan ekosistem mangrove di Sungai Rumpak juga melanggar berbagai ketentuan hukum yang seharusnya ditegakkan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas melarang aktivitas yang merusak hutan tanpa izin. Pasal 78 ayat (2) mengatur hukuman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar bagi pelaku perusakan. Namun, ratusan ponton yang terus beroperasi menunjukkan betapa lemahnya implementasi aturan ini.

Baca juga:  Jelang Nataru, Kapolda Babel: Jajaran Polda Wajib Lakukan Pengamanan

Tambang ilegal juga melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang telah direvisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020. Pasal 158 memberikan ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar bagi pelaku yang tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP). Selain itu, pihak penadah hasil tambang ilegal juga dapat dijerat dengan Pasal 480 KUHP tentang penadahan, yang membawa ancaman pidana hingga 4 tahun penjara.

Ketidakmampuan atau Ketidakmauan Aparat?
Fakta bahwa ratusan ponton tambang ilegal dapat beroperasi tanpa hambatan mengindikasikan adanya dugaan pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum aparat. Informasi dari lapangan menyebutkan adanya koordinasi terorganisir untuk mendukung aktivitas tambang ilegal, termasuk pasokan bahan bakar minyak (BBM) ilegal dan penerimaan dana operasional komandan oleh oknum berseragam.

Hal ini bukan hanya mencerminkan ketidakmampuan, tetapi juga potensi ketidakmauan aparat untuk menegakkan hukum. Jika benar adanya keterlibatan oknum aparat, maka hal ini melanggar prinsip dasar hukum dan mencederai kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

Tanggung Jawab Aparat: Kapolda dan Polres Harus Bertindak

Dalam situasi seperti ini, Kapolda Kepulauan Bangka Belitung memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan penegakan hukum berjalan dengan tegas. Aparat di tingkat Polres Bangka juga harus bertindak cepat dan efektif. Lambannya penindakan hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan dan memperpanjang penderitaan masyarakat pesisir yang kehilangan mata pencaharian.

Kapolda harus menginisiasi langkah konkret, seperti membentuk tim khusus untuk memberantas tambang ilegal dan mengusut tuntas dugaan keterlibatan oknum aparat. Penindakan hukum yang tegas tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku tambang, tetapi juga menjadi langkah awal untuk memulihkan ekosistem yang rusak.

Rehabilitasi dan Pemulihan Ekosistem
Selain penegakan hukum, langkah rehabilitasi mangrove juga menjadi hal yang mendesak. Pemerintah daerah dan pusat harus segera merancang program rehabilitasi yang melibatkan masyarakat lokal. Restorasi mangrove tidak hanya penting untuk memulihkan ekosistem, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.

Baca juga:  Seismik VS Masyarakat, Kemerdekaan yang Terusik: Refleksi 79 Tahun Proklamasi

Program rehabilitasi dapat mencakup penanaman kembali mangrove, pelatihan bagi masyarakat untuk menjaga ekosistem, dan pemberian insentif bagi mereka yang aktif berpartisipasi dalam upaya pemulihan. Hal ini juga dapat menjadi bentuk kompensasi atas kerugian yang dialami nelayan akibat aktivitas tambang ilegal.

Mengembalikan Kepercayaan Publik
Kasus tambang ilegal di Sungai Rumpak menjadi ujian besar bagi Polres Bangka dan Polda Kepulauan Bangka Belitung. Ketidakmampuan aparat dalam menangani kasus ini akan semakin memperburuk citra institusi penegak hukum di mata masyarakat. Sebaliknya, tindakan tegas dan transparan akan membantu mengembalikan kepercayaan publik.

Penting bagi aparat untuk bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat dan media, dalam menyelesaikan permasalahan ini. Pengungkapan fakta secara terbuka dan akuntabilitas dalam penindakan akan menjadi langkah penting untuk menunjukkan keseriusan aparat dalam menegakkan hukum.

Kesimpulan: Waktunya Bertindak
Lambatnya penindakan terhadap aktivitas tambang ilegal di Sungai Rumpak adalah cerminan dari lemahnya implementasi hukum dan pengawasan di lapangan. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh lingkungan yang rusak, tetapi juga oleh masyarakat yang kehilangan penghidupan.

Kapolda Kepulauan Bangka Belitung dan Polres Bangka harus segera bertindak untuk menghentikan aktivitas tambang ilegal ini. Penegakan hukum yang tegas, rehabilitasi ekosistem, dan keterbukaan informasi menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ini. Jika tidak, kehancuran lingkungan dan penderitaan masyarakat akan terus berlanjut, menciptakan lingkaran masalah yang sulit untuk diatasi.

Sudah waktunya bagi aparat untuk membuktikan bahwa mereka mampu melindungi hak rakyat kecil dan menjaga kelestarian alam. Jangan sampai mangrove yang hilang menjadi simbol dari kegagalan negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. (*)

Catatan Redaksi :
————————————
Penulis : Adinda Putri Nabiilah SH.,C.IJ.,C.PW editor KBO Babel
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Saran dan masukan atas tulisan ini silahkan disampaikan ke redaksi di nomor WA kami 0812 7814 265 & 0821 1227 4004 atau email redaksi yang tertera di box Redaksi.

(*/Red/LK).


Like it? Share with your friends!

11 shares

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

WARNING: DILARANG COPAS