Waspada Intoleransi Radikalisme dan Terorisme, RT dan Pemilik Kos di Tenda Ruteng Saling Bersilaturahmi

Ruteng, NTT//SI.com- Para Ketua RT, pemilik kos-kossan, mahasiswa, tokoh masyarakat, Bhabinkamtibmas, Satpol PP, perwakilan Dinas P3A, dan Kesbangpol, hingga tim cegah Densus 88 Mabes Polri hadir dalam forum silaturahmi yang digagas untuk membangun kesadaran bersama, bertempat di Kantor Kelurahan Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Senin (08/09/2025).

Tema yang diangkat jauh dari ringan : mencegah tindak pidana sekaligus menangkal penyebaran paham intoleran, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Kegiatan tersebut dibuka langsung oleh Lurah Kelurahan Tenda, dengan menekankan realitas sosial warganya.

“Kehidupan di Kelurahan Tenda sangat plural,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk di kelurahan ini mencapai 3.624 jiwa berbasis KK, belum termasuk ribuan mahasiswa dan pelajar yang menumpang hidup di 4.104 kamar kos.”

Fakta itu menjadikan Tenda sebagai salah satu kawasan paling padat interaksi sosial di pusat kota Ruteng.

Sekretaris Dinas P3A, Pius Kardiman Kadir, memberi pemahaman mengenai isu-isu kerentanan anak dan remaja.

Sementara itu Fransiskus Sengkang, Kabid Ideologi dan Wawasan Kebangsaan Kesbangpol, mengurai kondisi kerawanan sosial yang kian meningkat, termasuk perilaku berisiko di kalangan remaja.

Dari Satpol PP, Otwin Wisang menegaskan bahwa pihaknya berulang kali melakukan operasi kos-kosan meski pengawasan masih terbatas.

Dari tempat yang sama, Silvester Guntur dari Densus 88 menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari pencegahan. Ia mengingatkan bahwa ada lebih dari 30 orang asal Manggarai yang pernah menjadi bagian dari jaringan terorisme.

“Ruteng, meski dikenal sebagai pusat budaya Katolik, tetap rawan dijadikan tempat aman atau ‘save house’ bagi kelompok teror dari luar. Para pelaku biasanya menebarkan ideologi radikal secara diam-diam. Karena itu pemilik kos harus benar-benar waspada,” tegasnya.

Baca juga:  Akibat Sungai Enim Meluap. Banjir Melanda Desa Karang Raja. Belum Tersentuh Bantuan

Lebih jauh menurutnya, konteks kerentanan sosial di Ruteng semakin nyata jika melihat realitas pendidikan.

Data Dinas Pendidikan 2024 mencatat 9.530 siswa SMA/sederajat, dengan 2.468 di antaranya tinggal di kos. Ditambah ribuan mahasiswa, Ruteng menjelma menjadi “kota pelajar” yang sibuk. Namun kehidupan mandiri tanpa pengawasan orang tua sering melahirkan ruang abu-abu.

Pernikahan dini, kehamilan di luar nikah, hingga perilaku menyimpang kerap bermula dari kamar kos.

Rapat Koordinasi Perlindungan Anak dan Remaja pada Maret 2025, mencatat 80 persen pernikahan anak di Manggarai dipicu hubungan seksual dini.

Sementara kasus bunuh diri remaja yang meningkat—18 kasus sepanjang 2023—kian menegaskan rapuhnya norma sosial.

Dalam kerentanan semacam ini, kata Silvester, “ajakan intoleran mudah masuk, menawarkan identitas baru dan rasa kebersamaan yang tidak lagi ditemukan di rumah atau komunitas.”

HIV/AIDS turut memperparah kondisi ini. Sejak 2011 hingga 2023 tercatat 524 kasus dengan tren peningkatan tiap tahun. Stigma sosial membuat banyak penderita terisolasi, kehilangan harapan dan rawan dimanfaatkan kelompok radikal yang menjanjikan “harga diri baru” melalui ideologi ekstrem.

“Kalau satu saja anak kos di Kelurahan Tenda putus harapan lalu menjadi teroris, dosanya juga ditanggung pemilik kos,” ujar Silvester Guntur, menegaskan pentingnya peran kontrol sosial.

Sejumlah peserta menanggapi serius paparan tersebut. Agus, Ketua RT 01, menekankan pentingnya kolaborasi antara RT dan pemilik kos. Kornelis, seorang pemilik kos, mengakui kesulitannya karena banyak pemilik kos tidak tinggal di lokasi. Ketua RT 019, Eras, menyoroti potensi bahaya aksi mahasiswa anarkis yang bisa merembet ke Ruteng. Suster Lusia dari Biara Karmel mengaku wawasannya terbuka berkat sosialisasi ini, sementara perwakilan mahasiswa mengingatkan bahwa mobilitas anak kos yang sering berpindah-pindah menyulitkan RT untuk mengontrol. Tokoh masyarakat, Pak Rudi, juga menegaskan lemahnya pengawasan karena banyak pemilik kos tinggal jauh dari lokasi usaha.

Baca juga:  Sikapi Tambang Ilegal, Lorens Logam Sindir Sekda Mabar : "Budak Bupati Edi"

Diskusi menghangat ketika lurah menyinggung banyaknya rencana pendirian pondok pesantren di Tenda. Ia menanyakan aliran mana yang harus diwaspadai dan bagaimana cara mengidentifikasi kelompok pengajian yang berpotensi menyebarkan ajaran intoleran.

Menjawab itu, Silvester Guntur menekankan pentingnya tidak menilai seseorang hanya dari penampilan luar seperti celana cingkrang atau dahi hitam.

“Indikasi awal justru terlihat dari sikap anti-sosial,” jelasnya.

Sementara terkait lembaga pendidikan, ia menegaskan bahwa identifikasi bisa dilakukan dengan meneliti kurikulum yang diajarkan.

Silaturahmi yang awalnya terkesan formal akhirnya berkembang menjadi ruang refleksi bersama. Semua peserta sadar, intoleransi, radikalisme, hingga terorisme tidak lahir tiba-tiba, melainkan tumbuh dari ruang-ruang sosial yang longgar pengawasannya.

Tenda, dengan pluralitas dan keramaian kos-kosannya, bisa menjadi benteng toleransi atau justru pintu masuk bahaya, tergantung sejauh mana masyarakatnya menjaga diri dan lingkungannya.

Pewarta : Dody Pan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

WARNING: DILARANG COPAS