PALI – Senja belum benar-benar turun di Sungai Limpah Desa Sungai Ibul, Kecamatan Talang Ubi, Jumat (12/9/2025). Namun suasana mendung sore itu berubah mencekam ketika sebuah tragedi berdarah merenggut nyawa seorang warga, Matsari Lekat (29). Ia tergeletak tak bernyawa di tepi jalan, bersimbah darah, di hadapan anak perempuannya yang masih berusia 14 tahun.
Kematian Matsari bukan sekadar berita kriminal biasa. Di balik peristiwa itu, tersimpan luka batin yang dalam, sebuah cerita tentang harga diri keluarga, emosi yang tak terkendali, dan keputusan keliru yang akhirnya berujung di balik jeruji besi.
Pagi hari, sebelum peristiwa naas itu, suasana rumah keluarga pelaku L (49) mendadak tegang. Korban kedapatan berada di kamar anak perempuan L yang masih belia. Bagi L dan keluarganya, itu adalah aib yang tak bisa ditoleransi. Meski korban sempat dinikahkan secara adat, Matsari dianggap tidak menunjukkan tanggung jawab dan itikad baik. Luka batin itu terus membara, dan emosi perlahan menumpuk.
Tidak ada yang menyangka bahwa bara kemarahan itu akan berubah menjadi api yang membakar segalanya. Hingga sore menjelang, ketika L dan anaknya, P (19), menghadang Matsari yang sedang melintas bersama putrinya, segalanya pecah.
“Berhenti!” teriak pelaku sambil menghadang. Sepeda motor Matsari oleng, dan sebelum ia sempat bicara, sebilah parang sudah lebih dulu terayun. P menyerang, menebas punggung Matsari. Tubuh muda itu terhempas ke parit.
Di hadapan anak perempuannya sendiri, korban dianiaya tanpa ampun. Luka demi luka menghantam tubuhnya—punggung, leher, tangan, hingga darah membasahi tanah. Sang anak berlari, menjerit, mencari pertolongan. Namun semua sudah terlambat. Matsari meregang nyawa di tempat, meninggalkan trauma mendalam bagi putrinya yang kini harus menanggung ingatan pahit seumur hidup.
Bagi L dan P, mungkin amarah sesaat dianggap sebagai jalan untuk menebus rasa malu. Namun siapa sangka, keputusan di bawah kendali emosi justru menyeret keduanya ke jeruji besi. Polisi yang bergerak cepat berhasil meringkus ayah dan anak itu, menyita parang berdarah, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka pembunuhan berencana.
“Pelaku sudah kami amankan beserta barang bukti. Mereka dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana,” ungkap Kasat Reskrim Polres PALI, AKP Nasron Junaidi.
Kini, L dan P harus menghadapi konsekuensi hukum yang berat. Sementara itu, keluarga korban tenggelam dalam duka, terutama sang anak yang menjadi saksi langsung kematian ayahnya.
Kapolres PALI, AKBP Yunar Hotma Parulian Sirait, melalui Kasat Reskrim menegaskan bahwa tragedi ini harus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. “Kami imbau kepada masyarakat, selesaikan masalah dengan kepala dingin, bukan dengan kekerasan. Hukum adalah jalan terbaik, bukan amarah,” tegasnya.
Peristiwa di Sungai Ibul menyisakan pesan getir: betapa bahaya ketika amarah menguasai akal sehat. Sekejap emosi bisa menghancurkan segalanya—merenggut nyawa, merusak keluarga, dan meninggalkan luka yang tak mungkin sembuh.
Hari itu, bukan hanya Matsari yang kehilangan hidupnya. Sang anak kehilangan sosok ayah, sementara L dan P kehilangan kebebasan. Semua terjadi karena keputusan yang lahir dari hati yang terbakar emosi.
Sebuah tragedi yang seharusnya tidak perlu terjadi, namun menjadi nyata. Dan siapapun bisa menjadi korban berikutnya, bila amarah lebih dipelihara daripada kesabaran.
Sumber Informasi : Humas Polres Pali.
Editor: Eddi Saputra













