“Tambang batubara lebih banyak mudharat dari manfaat untuk warga sekitar”
PALI — Penolakan warga terhadap rencana aktivitas tambang batubara di Desa Benuang dan Desa Beruge Darat, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), memicu perdebatan panjang di kalangan masyarakat dan tokoh publik. Perbincangan hangat itu mencuat di grup WhatsApp Informasi PALI Terkini pada Sabtu (11/10/2025), melibatkan berbagai pandangan dari anggota DPRD, mantan dewan, serta tokoh masyarakat lintas kecamatan.
Diskusi tersebut mencerminkan kegelisahan publik atas isu tambang batubara yang dinilai berpotensi merusak lingkungan dan mengancam ruang hidup masyarakat. Dalam percakapan itu, muncul beragam pandangan kritis, mulai dari persoalan hukum, pelanggaran perda, hingga ketimpangan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
Sikap paling lantang disuarakan oleh Edi Eka Puryadi, S.Sos, anggota DPRD PALI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia dengan tegas menolak rencana tambang batubara di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa kegiatan tersebut melanggar Peraturan Daerah (Perda) yang masih berlaku di Kabupaten PALI.
“Kalau saya pribadi, sebaiknya tambang itu ditolak. Selain melanggar Perda tentang larangan tambang batubara di PALI — kecuali untuk kebutuhan industri mulut tambang — perusahaan biasanya hanya janji manis di awal. Setelah jalan, masyarakat ditinggal,” ujarnya tegas.
“Berkaca dari pengalaman, jangankan membuka lapangan kerja untuk warga sekitar, para pimpinan perusahaan saja enggan kembali. Kalau saya masyarakat sekitar, saya tetap tolak keberadaan tambang batubara di sana,” tambah Edi Eka.
Pernyataan tersebut langsung disambut oleh Wakil Ketua II DPRD PALI, Firdaus Hasbullah, SH, MH, dari Partai Demokrat. “Tidak masalah menolak, dan tidak harus jadi warga sekitar. Tapi sebagai wakil rakyat, ya sudah, tolak saja. Tambang yang sudah ada saja belum jelas kontribusinya,” tegas Firdaus.
Pandangan kritis juga datang dari Mulyadi Madjasin, mantan anggota DPRD PALI. Ia menjelaskan bahwa sektor tambang batubara di Indonesia selama ini lebih menguntungkan pengusaha besar ketimbang masyarakat daerah penghasil.
“Pendapatan negara dari batubara itu bukan pajak, tapi royalti. Kabupaten cuma dapat 32 persen, provinsi 16 persen, sisanya untuk pusat dan daerah lain. Royalti dari harga jual pun cuma 8 sampai 11 persen. Banyak potongan dan hitungan yang tidak transparan,” ungkapnya.
Sementara Piden C. Ote, tokoh masyarakat Tanah Abang, menyoroti ketimpangan kebijakan dan lemahnya posisi desa dalam menghadapi perusahaan tambang.
“Dalam UU Minerba, tidak diatur desa dapat royalti. Desa ini cuma jadi korban. Secara hukum, desa memang tidak punya ruang menolak, karena kewenangan ada di pemerintah pusat. Tapi kalau pemda tegas, harusnya bisa memperjuangkan aspirasi warga,” katanya.
Piden juga menyebut bahwa Perda RTRW Kabupaten PALI yang melarang tambang batubara sempat dikabarkan akan dihapus karena dianggap menghambat investasi. “Saya pernah tulis di tahun 2019, warga tolak tambang batubara. Saat itu dijelaskan bahwa Perda RTRW PALI melarang tambang untuk jual, hanya boleh untuk kebutuhan listrik. Tapi sekarang tambang malah untuk dijual semua. Jadi perda itu seperti tidak dihargai lagi,” ujarnya.
Pandangan hukum disampaikan oleh Dedy Ahmad, mantan anggota DPRD PALI. Ia menjelaskan bahwa kewenangan izin tambang kini sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pasca-berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Pemerintah daerah tidak punya kewenangan menolak izin tambang. Semua ditarik ke pusat. Pemda hanya bisa memberi rekomendasi dan memastikan perusahaan patuh pada aturan daerah,” jelasnya.
“Kalau masyarakat ingin menolak, jalurnya lewat advokasi hukum, PTUN, atau lobi ke Kementerian ESDM. Tapi ini tidak mudah, karena posisi daerah sangat lemah,” tambah Dedy.
Isu lingkungan juga menjadi sorotan. Suaidi Yusuf alias Cecep, mantan anggota DPRD PALI periode 2014–2019, menegaskan bahwa PALI terlalu kecil untuk menanggung dampak tambang batubara. “Kasihan generasi anak cucu kita. Lihat sekarang, jalur lintas Servo saja bikin debu hitam dan limbah masuk ke sungai. Air sudah tidak bisa dimanfaatkan. Kalau pun ada keuntungan, berapa persen untuk masyarakat sekitar?” ujarnya.
“Untuk masuk kerja pun harus pakai sogokan. Kalau perda 2017 diubah, masyarakat wajib tahu karena ini menyangkut kepentingan publik,” lanjutnya.
Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) PALI Tahun 2017 disebut masih berlaku dan belum direvisi dalam Raperda 2024, seperti dijelaskan oleh Edi Eka Puryadi. Namun, banyak masyarakat yang mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi atau salinan resminya.
“Kalau perda RTRW sudah tercatat di lembaran negara, seharusnya tidak bisa dihapus begitu saja. Tapi tergantung inisiatif kepala daerah dan DPRD kalau mau ubah. Masalahnya, masyarakat tidak pernah diajak bicara,” kata Mulyadi Madjasin.
Tokoh masyarakat Abab, Tuasim, menambahkan bahwa beberapa daerah di Sumsel sudah berani menolak tambang batubara dengan dasar Perda, seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Prabumulih. “Pemkot Prabumulih sudah melarang tambang batubara karena dampaknya besar terhadap lingkungan. PALI pun bisa, asal ada keberanian politik dan regulasi yang kuat,” ucapnya.
Diskusi di grup WhatsApp Informasi PALI Terkini menjadi cerminan nyata bahwa masyarakat lintas lapisan menolak keras kehadiran tambang batubara di Benuang dan Beruge Darat.
Mereka menilai, manfaat ekonomi yang dijanjikan tidak sebanding dengan risiko sosial, kesehatan, dan kerusakan alam yang bakal ditanggung. (35).