PALEMBANG – Pembentukan Satgas Penanggulangan Illegal Drilling dan Illegal Refinery di Sumatera Selatan (Sumsel) yang baru saja dibentuk melalui Surat Keputusan Pj Gubernur Sumsel, Elen Setiadi, kini menjadi sorotan. Meskipun sudah dibentuk, efektivitas Satgas ini dipertanyakan lantaran belum menunjukkan langkah nyata dalam memberantas aktivitas penambangan dan pengolahan minyak ilegal di Sumsel.
“Praktik di lapangan berbanding terbalik, aktivitas illegal drilling dan illegal refinery di Sumsel tetap marak,” ungkap Ahmad Azam, Ketua Koalisi Masyarakat Penyelamat Sumber Daya Alam Sumatera Selatan, Minggu (15/9/2024). Ia menambahkan bahwa peredaran minyak ilegal ini tidak hanya terjadi di Sumsel, tetapi telah meluas ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Ahmad juga menyoroti sikap pemerintah yang seolah melakukan pembiaran. “Solusi alternatif yang kami harapkan mampu menanggulangi ilegal migas secara masif dan sistematis tidak ada realisasinya. Satgas jalan di tempat atau tidak ada aksi,” tegasnya. Padahal, pembentukan Satgas ini sudah melibatkan berbagai elemen, mulai dari TNI, Polri, Pemda, hingga institusi penegak hukum lainnya, yang terbagi dalam empat sub-satgas: preemtif, preventif, penegakan hukum, dan rehabilitasi.
Namun, Ahmad mempertanyakan efektivitas dari pembentukan Satgas ini, “Mana bukti pemberantasannya?” tanyanya.
Senada dengan Ahmad, Koordinator Front Pemuda Pelindung Alam Sumatera Selatan, Imam, menilai bahwa keberhasilan Satgas sangat bergantung pada ketegasan aparat penegak hukum. “Saat ini pelaku-pelaku illegal drilling cenderung dilindungi, bahkan di beberapa daerah pelaku dilakukan oleh oknum pejabat seperti kepala desa dan lainnya,” jelas Imam.
Menurut Imam, upaya pemberantasan illegal drilling memerlukan pengawasan dan partisipasi masyarakat secara langsung. “Idealnya, pemerintah membuat regulasi yang tepat terkait kasus tersebut sehingga dapat meminimalisir penjualan minyak ilegal dan mencegah jatuhnya korban jiwa,” tambahnya. Ia menegaskan bahwa meskipun menghadapi berbagai konflik sosial yang sudah mengakar, Satgas harus bersikap tegas tanpa pandang bulu.
Seperti diketahui, peredaran minyak mentah atau yang dikenal dengan minyak cong di Sumatera Selatan telah menjadi rahasia umum. Meski telah terjadi penggerebekan tempat penampungan dan pengolahan minyak cong, produsen minyak ilegal tetap nekat melanjutkan produksi dan mengolahnya menjadi bahan bakar minyak (BBM) yang menyerupai standar Pertamina.
Sementara itu, Indonesian Audit Watch (IAW) turut menyoroti pembentukan Satgas Illegal Drilling dan Illegal Refinery di Sumsel sebagai langkah yang dinilai kurang efektif. “Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera Selatan yang sedang membentuk Satgas Pencegahan Illegal Drilling dan Illegal Refinery menurut hemat kami adalah upaya yang sangat sia-sia belaka,” ujar Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus.
Iskandar mengkritisi bahwa pembentukan Satgas ini tidak didukung oleh peraturan yang tegas mengenai produk atau hasil dari sumur minyak gas ilegal. “Kami sebut demikian karena sampai hari ini tidak ada aturan yang tegas untuk menyebutkan bahwa yang namanya produk atau hasil dari sumur minyak gas ilegal itu dilarang dengan mutlak,” tandasnya.
Bahkan, di beberapa wilayah, sumur ilegal malah diizinkan dan di Jawa Tengah, pengelolaannya dijadikan badan usaha milik desa (BUMDes). “Kalau hal itu diakomodasi atau diterapkan menjadi legal, maka akan menjadi berantakan atau tidak sesuai dengan regulasi,” imbuhnya. Iskandar menegaskan, sepanjang aturan masih menyatakan dilarang untuk dikomersilkan di luar komersialisasi pihak Pertamina, maka tindakan tegas perlu diambil.
Kondisi ini menggambarkan kompleksitas masalah illegal drilling dan illegal refinery di Sumsel. Efektivitas Satgas yang baru dibentuk menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini, namun hingga kini, langkah konkret belum terlihat, sementara aktivitas penambangan dan pengolahan minyak ilegal terus berlangsung. (Zul).
0 Comments