PALI – Kondisi sungai di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) kini memasuki fase darurat. Bukan sekadar keluhan nelayan pengemin lelang Lebak Lebung yang pendapatannya anjlok, melainkan sudah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan Pendapatan Asli Desa (PADes) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sorotan tajam datang dari Anggota DPRD PALI Fraksi PKS, Edi Eka Puryadi, S.Sos, yang juga duduk di Komisi I. Dalam pernyataan tertulis yang beredar di grup WhatsApp Informasi PALI Terkini, Minggu (21/9/2025), ia menyebut praktik perusakan sungai terjadi terang-terangan, namun dibiarkan.
“Badan sungai dipasang langsatan dari strimin, banyak warga menggunakan setrum—mulai dari rakitan sederhana hingga berteknologi tinggi. Ironisnya, pemerintah dan aparat penegak hukum hanya menonton. Padahal jelas, praktik ini melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sanksinya tegas: pidana penjara hingga enam tahun dan denda miliaran rupiah,” tegas Edi Eka.
Ia menambahkan, kondisi makin parah saat musim kemarau. “Dari hulu Sungai Penukal, Desa Raja Jaya, Tempirai hingga Air Itam, banyak aliran air diputas. Tapi sampai sekarang tidak ada tindakan nyata. Kalau terus dibiarkan, masyarakat bukan hanya enggan mengikuti lelang Lebak Lebung, tapi sungai kita akan mati pelan-pelan,” kritiknya keras.
Lebih jauh, Edi Eka menegaskan bahwa sungai adalah aset desa sekaligus aset daerah. Dalam konteks hukum, perlindungan sungai mestinya diikat kuat oleh Peraturan Daerah tentang Tata Ruang dan aturan lingkungan hidup. “Kalau di hulu sungai saja dibuka lahan perkebunan tanpa kendali, sama artinya kita merobek masa depan anak cucu. Sungai itu warisan marga, wajib kita jaga,” ujarnya.
Namun akar masalah ternyata tidak hanya berasal dari praktik ilegal masyarakat. Dari catatan lapangan, perusahaan juga menjadi aktor besar pencemar lingkungan.
Di wilayah Tanah Abang, aktivitas hauling batu bara terbukti merusak. Sungai dan lahan pertanian warga tercemar debu, lumpur, dan limbah operasional. Stock file batu bara yang dibiarkan terbuka memperparah pencemaran udara.
Tak kalah mencolok, Pertamina Adera Field juga disorot. Limbah migas dilaporkan mencemari lahan pertanian, merusak kesuburan tanah, dan menurunkan produktivitas warga.
“Semua ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal 69 tegas melarang setiap orang melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan. Bahkan, Pasal 98 sampai Pasal 103 memuat ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda mencapai Rp10 miliar. Pertanyaannya: kenapa aparat penegak hukum diam?” tantang Edi Eka.
Ia menuding Dinas Lingkungan Hidup (DLH) PALI maupun DLH Provinsi Sumsel tidak menjalankan kewajibannya. Padahal, perda dan undang-undang memberi mandat jelas untuk melakukan pengawasan, pengendalian, dan penindakan.
“Kalau DLH tidak berani bertindak, itu sama artinya dengan pembiaran. Dan pembiaran ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Sungai adalah urat nadi kehidupan, bukan tempat pembuangan limbah,” tandasnya.
Edi Eka menutup pernyataannya dengan ultimatum: “Kami di DPRD tidak akan berhenti menyuarakan ini. Jika pemerintah dan APH terus abai, maka bukan hanya PAD dan PADes yang hilang, tapi kepercayaan rakyat juga runtuh. Sungai mati berarti rakyat mati—dan sejarah akan mencatat siapa yang membiarkannya.”. (Eddi Saputra).