Dalam negara demokrasi, keterbukaan informasi publik bukanlah pilihan — ia adalah kewajiban. Namun, sayangnya, semangat transparansi itu kerap mati suri di hadapan arogansi lembaga besar, termasuk perusahaan pelat mera. Entah karena merasa superior, atau memang sudah terbiasa menutup diri, publik kini sering dipaksa berhadapan dengan dinding tebal bernama “birokrasi kaku” dan “jawaban normatif” ketika mencoba meminta informasi yang semestinya terbuka.
Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dengan tegas menyatakan bahwa setiap badan publik wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya. Artinya, sebagai perusahaan milik negara tidak boleh seenaknya menolak atau menutupi informasi yang menyangkut hajat hidup masyarakat, terlebih informasi terkait kegiatan sosial, lingkungan, CSR, hingga tanggung jawab terhadap masyarakat di sekitar wilayah operasional.
Namun realitanya, banyak jurnalis, aktivis, hingga masyarakat umum mengeluh sulit mengakses informasi dari pihak Perusahaan. Permohonan data sering kali diabaikan, atau dijawab dengan kalimat klasik: “Silakan ajukan surat resmi ke kantor pusat”, yang kemudian berakhir tanpa tindak lanjut. Sikap seperti ini bukan hanya tidak etis, tapi juga bertentangan dengan hukum.
UU KIP Pasal 52 menegaskan bahwa “Badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.”
Sanksi ini jelas. Artinya, setiap pejabat publik, termasuk di lingkungan BUMN tidak kebal hukum jika dengan sengaja menutup akses informasi yang menjadi hak publik. UU KIP bukan sekadar formalitas, melainkan benteng hak rakyat untuk tahu, mengawasi, dan menilai kebijakan yang menyentuh kehidupan mereka.
Arogansi informasi yang kerap diperlihatkan oleh pihak Perusahaan sejatinya telah menampar semangat reformasi birokrasi. Ketika masyarakat atau jurnalis ingin tahu bagaimana dana CSR dikelola, bagaimana dampak lingkungan ditangani, atau bagaimana proyek-proyek tertentu dijalankan, mereka bukan sedang “mencari sensasi” — mereka sedang menjalankan hak konstitusional untuk mengawasi uang negara dan kebijakan publik.
Lebih jauh lagi, perilaku tertutup ini menimbulkan preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Jika BUMN raksasa merasa berhak menutup informasi seenaknya, bagaimana dengan lembaga-lembaga kecil lainnya? Keterbukaan informasi seharusnya menjadi budaya, bukan ancaman.
Sudah saatnya pihak Perusahaan berhenti bersikap arogan. Mereka harus sadar bahwa kekuatan dan legitimasi perusahaan ini berasal dari kepercayaan publik. Dan kepercayaan itu hanya bisa tumbuh melalui transparansi dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Kita tak butuh kata manis dalam rilis pers, kita butuh bukti keterbukaan yang nyata. Publik berhak tahu. Negara menjamin hak itu. Dan siapapun yang menghalangi, harus siap menanggung konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU KIP.
Karena dalam demokrasi, menutup informasi publik sama halnya menutup mata terhadap kebenaran.
Namun penomena ini masih kerap terjadi di negara ini, seperti informasi yang baru menguap ke permukaan publik. Yang posting beberapa media online. Salah satunya:
Dilansir dari laman media Pilarinformasi.com, yang terbit hari Rabu 8 Oktober 2025. Dugaan pelanggaran serius kembali membayangi aktivitas PT Pertamina EP (PEP) Pendopo Field di kawasan hutan dari Sungai Baung hingga Banakat Minyak, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI).
Kawasan yang termasuk dalam Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDT) di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan itu seharusnya dikelola dengan izin terbatas. Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh, kontrak kerja sama pengelolaan kawasan tersebut telah berakhir sejak 2024.
Meski demikian, Pertamina EP Pendopo Field diduga masih tetap beroperasi tanpa izin perpanjangan yang sah. Sementara itu, kewajiban reboisasi dan pemulihan lingkungan yang menjadi syarat mutlak perpanjangan izin, hingga kini belum terlihat dilakukan di lapangan.
Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa Pertamina EP Pendopo Field melanggar aturan kehutanan dan mengabaikan kewajiban lingkungan. Beberapa sumber di lapangan bahkan menyebutkan aktivitas produksi minyak masih berjalan seperti biasa, tanpa adanya tanda-tanda penghentian operasi.
Ketika dikonfirmasi, Humas Pertamina, Yanti, enggan memberikan penjelasan lebih jauh dan mengarahkan agar konfirmasi dilakukan ke Land Management Function (LMF).
“Terkait lahan itu ke fungsi LMF (Land Management Function), dan coba koordinasi ke Mas Kery ya, terima kasih,” ujarnya singkat melalui pesan tertulis.
Namun tanggapan dari pihak LMF justru menimbulkan kontroversi. Bukannya memberikan klarifikasi yang informatif, Gawang, perwakilan LMF Pertamina EP, malah mengeluarkan pernyataan bernada emosional dan defensif.
“Lanjutkan saja beritanya. Kami tidak punya hak untuk menahan pemberitaan. Setelah berita diterbitkan, baru kami akan memberikan hak jawabnya,” ucap Gawang saat dihubungi, Rabu (8/10/2025).
“Jangan bicara soal tanah kawasan saja. Kalian cuma tahu permukaan atas, tidak tahu proses di dalamnya,” tambahnya dengan nada meninggi.
Sikap tersebut dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk arogansi dan ketertutupan informasi dari institusi sebesar Pertamina. Di tengah tuntutan publik akan transparansi dan tanggung jawab lingkungan, pernyataan semacam itu justru menimbulkan kecurigaan adanya upaya menutupi persoalan di lapangan.
Publik mendesak agar pemerintah turun tangan dan melakukan audit menyeluruh terhadap aktivitas Pertamina EP Pendopo Field di kawasan KHDT, termasuk evaluasi atas pelaksanaan reboisasi dan izin operasionalnya. (Ade)
Informasi: Dilansir dari laman media Pilarinformasi.com