Oleh : Joko Sadewo,SH.,MH.
PALI//SI.Com–,Akhir-akhir ini, ruang demokrasi di negri ini terasa semakin sempit. Kebebasan berpendapat dan berekspresi, tak sejalan dengan berkembangnya media dengan beragam flatformnya. Penguasa dan pemodal kian sensitif. Jika tak sesuai hendak kepentingannya, maka dengan powernya, mereka pun berambisi mengendalikan suara rakyat yang tak sedap didengar.
Secara nasional, berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mengenai Indeks Demokrasi 2020, tercatat Indeks Demokrasi di Indonesia turun dari skor 6,48 di tahun 2019 menjadi 6,3 di tahun 2020.
Atas hal ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan angka tersebut merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir. Bahkan, skor tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 167 negara dunia.
“Skor 6,3 merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Bahkan untuk di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Menunjukan betapa besarnya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh berbagai pihak, untuk memajukan demokrasi di Indonesia,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, sebagaimana dirilis detik.com, Rabu (10/3/2021).
Pers sebagai pilar keempat demokrasi, memegang peranan paling penting dalam menegakkan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Pers atau media massa yang tak bebas merupakan indikator mundurnya demokrasi di suatu bangsa.
Di era revolusi industri 4.0, pertumbuhan media massa berkembang dengan sangat pesat. Para pegiat media berlomba memproduksi karya jurnalistiknya, terutama pada flatform online (siber) yang low cost secara intensif. Para “pemain” baru juga terus bermunculan. Sehingga saluran informasi tersedia dengan berlimpah.
Meski demikian, ketersediaan corong aspirasi rakyat itu, tak sejalan dengan kedewasaan masyarakat, bahkan para pengampu kebijakan dalam pemanfaatannya. Kerap kali mereka terlalu lebai atau baper menyikapinya. Padahal, produk jurnalistik adalah kepentingan publik, yang harus disikapi secara proporsional.
Oleh karenanya, fungsi media massa yang sangat vital serta memberi efek besar, lalu membuat para pengampu kebijakan justru cenderung ingin “menguasai” media, dan bukan memperbaiki kualitas kerja mereka, yang bisa dikabarkan secara objektif. Mereka terkesan, lebih senang media memberitakan versi mereka, dan bukan kondisi sebenarnya.
Dengan keadaan ini, para pegiat media mutlak harus tetap menyadari bahwa kehadiran mereka adalah demi kepentingan masyarakat, untuk menegakkan pilar demokrasi. Bukan membodohi rakyat, dengan menutup kebenaran, guna kepentingan kekuasaan sesaat. Insan pers tak boleh terkekang dalam cengkeraman penguasa, dan tercebur dalam pusaran politik kontemporer.
Meski pegiat jurnalistik diminta selalu bersinergi dengan semua pihak, tetapi posisinya haruslah tetap berada kokoh di tengah-tengah. Condong ke penguasa dengan hasrat memuaskan kehendak mereka, adalah pengkhiatan besar terhadap profesi dan terhadap kepentingan publik.
Di masa reformasi, dimana ruang demokrasi dibuka lebar-lebar. Semua orang dijamin hak asasinya menyampaikan pendapat. Baik secara lisan maupun tulisan, sebagaimana amanat UUD 1945. Untuk memastikan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu atau golongan, maka pers harus berperan. Pers tak boleh diintervensi siapapun, apalagi penguasa. Pers Merdeka, Rakyat Merdeka!!.
Penulis adalah wartawan. Bertugas di Kabupaten PALI, Provinsi Sumatera Selatan.
0 Comments