Talang Ubi, PALI – Senin 25 Agustus 2025.
Ironi kembali terjadi di gedung wakil rakyat Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI). Rapat Paripurna ke-12 DPRD Kabupaten PALI yang membahas agenda penting—Penyampaian Jawaban Bupati PALI terhadap Pemandangan Umum Anggota Dewan atas Nama Fraksi-Fraksi Dewan tentang Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Perubahan APBD Tahun 2025—ternyata diwarnai dengan fakta memalukan: dari total 30 anggota dewan, hanya 20 orang yang hadir.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua I DPRD PALI, H. Kristian, SM, ini dihadiri oleh Wakil Bupati PALI Iwan Tuaji, SH, mewakili Bupati Asgianto, ST, serta Sekda Kartika Yanti, jajaran Forkopimda, staf ahli, asisten, dan perwakilan OPD. Namun, kehadiran anggota dewan justru menjadi sorotan tajam, setelah Sekwan DPRD PALI, Darmawi, membacakan daftar hadir yang menunjukkan absennya sepertiga anggota dewan.
Pertanyaan besar pun muncul: di manakah para wakil rakyat yang selalu lantang menyuarakan bekerja untuk kepentingan rakyat itu? Bagaimana mungkin pembahasan sepenting APBD Perubahan—dokumen yang menyangkut hajat hidup masyarakat PALI—tidak menjadi prioritas bagi sebagian anggota DPRD?
Rakyat tentu berhak kecewa. Kehadiran hanya 20 dari 30 anggota bukan sekadar angka, melainkan potret rapuhnya komitmen moral sebagian legislator terhadap amanah yang mereka emban. DPRD yang disebut sebagai lembaga terhormat, justru memperlihatkan wajah muram ketidakdisiplinan.
Apalagi, alasan “hari libur” atau faktor teknis lainnya jelas tidak bisa dijadikan pembenaran. Jika memang rapat ditetapkan pada hari Minggu atau Senin, seharusnya jadwal sudah dipertimbangkan matang-matang. Membicarakan APBD bukanlah perkara remeh yang bisa dikorbankan hanya karena kepentingan pribadi atau alasan ketidakhadiran yang tidak jelas.
Perubahan APBD adalah instrumen vital yang menentukan arah pembangunan, perbaikan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat PALI. Bagaimana mungkin pembahasan sepenting ini tidak dihadiri penuh oleh para wakil rakyat yang katanya dipilih dengan penuh harapan?
Kehadiran hanya 20 orang jelas menyisakan tanda tanya besar. Jika kebiasaan absen ini terus berulang, bukan tidak mungkin rakyat PALI akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi suara mereka.
“Rakyat butuh bukti, bukan sekadar janji manis. Jika di gedung rapat saja banyak yang absen, bagaimana bisa diharapkan mereka akan hadir penuh untuk kepentingan masyarakat?” begitulah kritik yang banyak terdengar di kalangan masyarakat sipil.
Rapat paripurna ini seharusnya menjadi momentum pembuktian bahwa DPRD benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan sekadar formalitas jabatan. Kehadiran yang tidak penuh justru menorehkan catatan merah bagi lembaga legislatif PALI.
Kini, bola ada di tangan para wakil rakyat. Apakah mereka mau memperbaiki disiplin, menunjukkan keseriusan, dan benar-benar menunaikan amanah rakyat, ataukah justru terus larut dalam absen yang hanya mempertebal krisis kepercayaan publik?
Yang jelas, publik PALI sedang menunggu jawaban—bukan dari kata-kata, melainkan dari sikap nyata para anggota dewan yang katanya “wakil rakyat”. (35)