PALI – Misteri yang selama ini terkubur rapat akhirnya terbongkar. Tim investigasi LSM Elemen Masyarakat Abab Bersatu (EMAB) bersama sejumlah wartawan berhasil menemukan fakta mencengangkan terkait pengelolaan limbah milik PT Golden Blossom Sumatra (GBS), salah satu perusahaan perkebunan sawit terbesar di Kecamatan Abab, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatra Selatan.
Dalam penelusuran lapangan pada Jumat (26/9/2025), tim mendapati sebuah penampungan limbah pabrik sawit di area perkebunan yang menyerupai kolam besar dengan bau busuk menyengat. Namun, yang membuat miris, kolam itu ternyata tidak dibangun sesuai standar lingkungan. Tak ada beton, tak ada besi pengaman. Hanya kerukan tanah di bekas rawa yang dijadikan tempat buangan limbah beracun.
Wiwin Indra, tokoh muda Abab sekaligus tim investigasi LSM EMAB, dengan tegas menyatakan bahwa metode ini berpotensi meracuni bumi dan kehidupan.
“Limbah cair yang ditampung di kolam tanah itu otomatis meresap melalui pori-pori bumi. Alirannya bisa bebas masuk ke mata air dan sungai kecil di sekitar. Dampaknya jelas, ekosistem terganggu, hewan mati perlahan, tumbuhan rusak, dan yang paling berbahaya adalah manusia yang setiap hari mengonsumsi air dari sekitar lokasi,” tegas Wiwin, yang juga warga Desa Raman Muliya, eks Prambatan.
Wiwin menilai praktik ini adalah bom waktu pencemaran. Jika dibiarkan, generasi mendatang akan mewarisi tanah dan air yang sudah tercemar racun limbah sawit.
Atas temuan ini, Wiwin mendesak Pemerintah Kabupaten PALI, khususnya Dinas Lingkungan Hidup (DLH), untuk segera turun tangan melakukan audit lingkungan secara menyeluruh.
“DLH tidak boleh diam. Jika temuan ini benar adanya, maka PT GBS harus dikenakan sanksi tegas sesuai aturan lingkungan hidup. Jangan ada kompromi dengan perusahaan yang mengorbankan kesehatan masyarakat demi keuntungan,” ujar Wiwin.
Wiwin juga memastikan, LSM EMAB telah berkoordinasi dengan pengurus dan siap melakukan aksi protes ke Pemkab PALI apabila aspirasi ini diabaikan.
Menyikapi persoalan ini, Abby Nofriyansyah, SH, Kepala Divisi Hukum Gelora Masyarakat Lematang Bersatu (GEMERLAB), menegaskan bahwa persoalan pencemaran lingkungan bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga mengandung konsekuensi hukum pidana.
“UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas mengatur bahwa setiap penanggung jawab usaha yang sengaja melakukan pencemaran bisa dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar. Ini bukan perkara main-main,” tegas Abby.
Ia juga menambahkan, jika terbukti ada kelalaian atau kesengajaan, maka aparat penegak hukum wajib turun tangan. “Lingkungan bukan milik perusahaan, melainkan hak hidup seluruh rakyat. Tidak ada satupun korporasi yang boleh berdiri di atas penderitaan masyarakat,” tandasnya.
Abby pun sepakat dengan sikap LSM EMAB. Ia menegaskan bahwa GEMERLAB siap bersinergi untuk mengawal dan menekan agar kasus ini tidak berhenti di meja wacana.
“Kami akan mengawal sampai ada tindakan nyata. Jika perlu, kami bawa persoalan ini ke ranah hukum agar ada efek jera. Jangan sampai masyarakat Abab dijadikan korban bisu pencemaran selama puluhan tahun,” pungkas Abby.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak manajemen PT Golden Blossom Sumatra (GBS) maupun Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten PALI belum memberikan keterangan resmi terkait temuan dugaan pencemaran tersebut. Upaya konfirmasi Masih tetap dilakukan wartawan untuk mendengarkan penjelasan keduanya.
Temuan ini menjadi tamparan keras bagi Pemkab PALI, DLH, dan aparat penegak hukum. Apakah mereka akan berdiam diri melihat air bersih yang seharusnya jadi sumber kehidupan, justru berubah menjadi racun akibat limbah sawit?
LSM, pers, dan masyarakat kini menanti jawaban: apakah hukum benar-benar tegak di Bumi Serepat Serasan, atau justru tunduk pada kuasa modal?. (SEKBER PALI).