OPINI Oleh: Armansyah, S.S., S.H. (Pemerhati Hukum dan Politik)
Bangka Belitung, saranainformasi.com – Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar dua orang berdebat dengan begitu sengit yang entah apa yang dibicarakan tapi rasa-rasanya lebih mengarah kepada tema-tema politik. “Anda ini terlampau gila politik!” salah seorang di antaranya berteriak dengan sangat jelas.
Dalam konteks politik, ketika ada seseorang yang terus menerus membela kandidatnya secara berlebihan, bahkan membela mati-matian, atau menginginkan sesuatu yang tak masuk akal mungkin saja ia berada dalam kegilaan bukan kewarasan. Ada yang membela paslonnya mati-matian agar mendapat kekuasaan karena telah menerima upeti, dan ada juga yang menjelekan paslonnya karena kekecewaan dan tidak mendapat upeti. Itulah dinamisnya berpolitik, kadang-kadang keliatan kayak orang gila, padahal kalau sudah duduk jadi lupa paslonnya.
Kadang-kadang dalam dunia politik, paslon suka mencari kesalahan- kesalahan lawan politiknya dengan harapan lawan politiknya bisa di proses secara hukum dan tindak pidana. Ini bentuk mens rea lawan politiknya menjatuhkan lawan paslonnya, kadang-kadang kayak orang gila, membabi buta menghalalkan segala cara agar lawannya terjatuh, ini kotor politik dan hukum terjadi di Indonesia.
Seharusnya mereka mencari perhatian masyarakat yang baik, bukan menjatuhkan lawan paslonnya dengan hukum. Maka dalam konteks agama, orang-orang yang seringkali berbuat kemaksiatan, keburukan, atau apapun yang merugikan diri dan orang lain juga disebut ‘Majnun atau gila’. Mereka yang berbuat kerusakan, menolak kebenaran, dan merugikan orang lain menjadikannya tampak hina dan rendah dalam pandangan orang waras, dan kemungkinan inilah diksi kegilaan yang sebenarnya dalam konteks sosial politik dan agama.
Dalam suatu riwayat, pernah suatu saat orang-orang berkumpul di mana hadir Nabi Muhammad di dalamnya. Lalu, ada seseorang melewati mereka dan di antara sebagian orang mengatakan, “Itu orang gila lewat”. Nabi kemudian mengoreksi, “Itu orang yang sakit ingatannya (mashaab) saja, sebab orang gila (majnun) itu adalah mereka yang gemar bermaksiat kepada Tuhannya”.
Maka orang gila sebenarnya mereka itu secara sadar tahu, dapat mendengar, mencaci-maki, membakar, melempar, menyakiti, merendahkan, atau berbuat apa saja sesuai kehendaknya sendiri.
Itulah kenapa orang-orang yang menolak kebenaran yang dibawa oleh para utusan Tuhan disebut sebagai golongan orang gila (Qaumun majnuun) sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab suci Alquran ketika mereka menolak ajakan Nabi Nuh, Musa, Luth, dan lainnya.
Menariknya, pendefinisian soal gila ini jelas diungkapkan oleh orang-orang yang selalu menolak kebenaran, dimana penyebutan orang-orang musyrik Mekah kepada Nabi Muhammad adalah orang gila, tukang sihir, penyair sesat, dan dukun.
Tak heran rasanya, ketika seorang ulama Ali bin Abdillah as-Samarqand sebagaimana dikutip dalam kitab Uqalaa’ al-Majaaniin mengatakan, “Man ‘arafa nafsahu kaana ‘inda an-naas dzaliilan wa man ‘arafa rabbahu kaana ‘inda an-naas majnuunan” (Orang yang mengenal dirinya sendiri seringkali direndahkan dan orang yang mengenal Tuhannya seringkali dianggap kegilaan).
Kegilaan mungkin saja terjadi karena kekuasaan yang takut tergusur, lalu siapa saja orang-orang yang dianggap menghalanginya harus siap-siap berhadapan dengan hukum yang mereka buat sendiri. Preferensi hukum dibuat sedemikian rupa untuk menjerat ‘orang-orang gila’ dalam persepsi para penguasa yang memang pada kenyataannya mereka juga gila dalam hal kekuasaan.
Ah, ternyata mereka yang sibuk copras capres dengan berbagai kegilaannya selama ini dengan menghalalkan segala macam cara demi kemenangan kubu politiknya, tak ubahnya orang-orang gila yang juga menuduh sesamanya sebagai orang gila pula. Mari berpikir waras dan jauhi kegilaan!.
(*/Red/LK))
0 Comments