Kurang dari sebulan, Pemilu tinggal menghitung hari, dipastikan dibenak mu sudah ada pilihan di segalah tingkatan, mulai dari Pilpres, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi hingga Calon Legislatif DPRD Kabupaten/kota.
Sejak KPU mengumumkan Daftar Calon Tetap (DCT) di segalah tingkatan, hingga menetapkan capres dan cawapres di situ masyarakat sudah memilih calon pemimpin negara dan calon wakil nya, semua sudah di catat.
Namun selama ini masyarakat masih memilih dan memilih, sambil menunggu hari pesta demokrasi untuk menentukan pilihan, pemilihan umum 14 Februari 2024 mendatang, dari Mentri hingga rakyat jelata akan menentukan pilihan. Suara menteri dan suara rakyat jelata sama, sama-sama di hitung satu.
Bertepatan dalam gerbong atau bilik suara itulah semua orang menentukan pilihan, waktu yang singkat menentukan nasib bangsa, satu suara menentukan nasib bangsa. Semua Caleg, Capres dan Cawapres berharap terpilih, begitu juga pemilih, semua berharap yang dia pilih terpilih menjadi pemenang.
Andai saja masyarakat memilih calon yang benar-benar dia percaya mampu memimpin negara, mampu menjadi wakil rakyat, pilihan dan harapan beriringan dengan kepercayaan dari hati yang tulus maka praktik money politik tidak akan terjadi. Jika praktik money politik dapat dihindari maka demokrasi akan bersih, jika demokrasi bersih maka harapan akan tercapai mendapatkan pemimpin bersih dari KKN, Wakil rakyat bersih dari penyalahgunaan tugas dan wewenang.
Tapi apakah itu akan terwujud? Jawabnya tidak untuk pemilu tahun 2024 ini, mengapa demikian? Otak masyarakat sudah terdoktrin oleh semboyan “Perbedaan Pil KB dan Pileg” hingga masyarakat menyamaratakan oknum yang perna terpilih dan yang baru calon. Dengan menghukum para calon dengan bahasa ada uang ada suara, Merubah mindset masyarakat tidak mudah, edukasi melalui berbagai jalur pun tidak lagi efektif, namanya juga sudah terkontaminasi.
Kondisi masyarakat yang berpikir demikian bisa jadi manfaat bagi para caleg dengan kos politik nya besar, atau dengan kata lain Caleg Berkantong tebal, dengan modal yang mereka miliki, mereka bisa membeli suara dengan harga tinggi dan banyak, dengan demikian, siapa yang rugi?.Semua rugi.
Para caleg yang membeli suara meskipun terpilih tetap rugi, karena dengan modal yang besar untuk terpilih dia terpaksa akan berusaha mengembalikan modal politik nya dengan segala cara memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi, jika nanti terpidana seperti kasus-kasus yang perna terjadi terhadap DPRD dan Mantan DPRD di beberapa daerah, siapa yang rugi, Ya caleg itu sendiri, belum lagi hukum sosial, yang harus diterima dirinya dan keluarganya, sedangkan hukum Allah yang maha pedih menanti.
Kemudian kerugian bagi pemilih yang di beli, kita ini manusia merdeka, kita bebas mau pilih siapa sesuai hati nurani dan siapa yang kita percaya, namun mengapa sudi menjual hak suara dengan harga murahan, apakah ada satu suara itu dihargai hingga satu juta rupiah? Jika pun ada, masih rugi, satu juta rupiah tidak bisa menebus kesalahan pilihan selama limah tahun, satu juta rupiah bagi 5 tahun berapa rupiah kah?.
Ruginya lagi, dengan ditukar satu juta rupiah, kita dak berdaya dihadapan wakil rakyat yang sudah membeli suara kita, yah namanya barang sudah di jual, ibaratkan saja kita beli rokok di warung, rokok sudah milik kita, apakah penjual masi punya hak terhadap barang yang sudah ia jual? Terserah pembeli mau diapakan barang yang sudah dia beli, begitulah logika nya.
Kemudian apakan kita bisa protes wakil rakyat main proyek mengatasnamakan aspirasi? Apakah kita bisa protes jika wakil rakyat tidak bisa di temui karna sibuk DL tanpa hasil demi sisa belanja perjalanan dinas? Apakah bisa protes jika wakil rakyat tidak peduli derita rakyat? Jawabnya tentu tidak bisa, suara anda bukan untuk menentukan nasib bangsa, tetapi anda jual dengan harga murahan demi yang tak mencukupi kebutuhan setengah Minggu.
Kerugian yang selanjutnya, mahalnya kos politik masa yang akan datang, putra putri terbaik dan kompeten tidak punya kesempatan untuk menjadi wakil rakyat jika tidak punya modal besar, karena budaya “ada uang ada suara” membatasi orang baik menjadi pemimpin, atau wakil rakyat, siapa lagi yang rugi? Jawabnya rakyat, karena pada dasarnya demokrasi ini “Dari rakyat, oleh Rakyat, untuk rakyat.”
Calon pemimpin atau calon wakil rakyat itu Dari rakyat, kemudian di pilih oleh rakyat, berbuat untuk rakyat, apakah anak seorang petani yang ekonominya pas-pasan bisa dapat kesempatan untuk jadi wakil rakyat atau jadi pemimpin? Mereka tak ada kesempatan jika suara rakyat masih bisa diperjualbelikan.
Terkait artikel ini, penulis mengajak pembaca merenungkan nasib putra putri kita kedepan, berpikir sejenak merendahkan diri, melepaskan ego dan dendam, nasib putra putri dan daerah dimana kita berdomisili ada di tangan kita bersama, jika mampu mengajak satu atau dua orang untuk menciptakan demokrasi yang bersih, itu lebih baik, jika tidak bisa mengajak orang lain, mulailah dari diri kita sendiri, jika bukan sekarang memulai kapan lagi.
Terakhir penulis mengajak, bagi pemilih yang masi ngambang, belum ada arah pilihan, ayo kenali satu persatu calon nya, setelah kenal tanyakan jejak rekam sebelum calon, kemudian cari tau pasti apakah dia layak atau tidak menjadi wakil rakyat, banyak cara mencari tau popularitas seseorang, ingat demokrasi yang bersih menentukan nasib bangsa ke arah yang lebih baik, ternodanya demokrasi akibat praktik money politik akan melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang bobrok dan goblok, jika negara atau daerah di pimpin/di wakili orang goblok, maka rakyat akan jauh dari kata sejahtera.
Artikel Opini: Eddi Saputra
0 Comments