Jakarta, 25 Agustus 2025 –
Senayan, pagi itu, bukan sekadar gedung beton dengan pilar-pilar megah yang kerap jadi latar foto pejabat. Ia berubah menjadi panggung besar, tempat rakyat kembali menulis bab baru dari kisah panjang perlawanan dan harapan.
Ribuan orang—mahasiswa, aktivis, buruh, hingga anak muda yang biasanya lebih akrab dengan layar gawai ketimbang jalanan—tumpah ruah di depan Gedung DPR/MPR RI. Mereka datang bukan untuk menonton pertunjukan, melainkan menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri: sebuah orkestra protes, dengan teriakan dan spanduk sebagai alat musiknya.
“Bubarkan DPR, Hapus Tunjangan, Sahkan RUU Perampasan Aset”
Tiga tuntutan bergema keras. Singkat, tapi menusuk. Di antara kerumunan, ada poster dengan kata-kata yang membuat siapa pun tertegun sekaligus tersenyum miris: “Kerja kalian apa? Scroll TikTok di ruang sidang?” Ada pula yang lebih puitis: “Kalau rakyat lapar, demokrasi ikut kelaparan.”
Slogan-slogan itu bukan sekadar lelucon jalanan. Ia lahir dari kekecewaan panjang, dari rakyat yang lelah melihat panggung parlemen lebih sibuk dengan drama ketimbang solusi. Tuntutan pembubaran DPR memang terdengar ekstrem, namun di baliknya ada pesan jelas: kepercayaan yang dititipkan rakyat terlalu mahal untuk dipermainkan.
Di antara hiruk pikuk, seorang mahasiswa berteriak melalui pengeras suara, “Kalau DPR nggak bisa kerja, kita belikan kursus online saja. Ada diskon besar di e-commerce, Pak/Bu Dewan!” Gelak tawa pun pecah. Namun di balik humor itu, tersimpan ironi.
Bagaimana tidak? Saat anggota dewan bisa mengantongi tunjangan hingga puluhan juta rupiah per bulan, banyak buruh masih berkeringat untuk sekadar memenuhi kebutuhan harian. Rakyat tidak iri, hanya ingin keadilan: sedikit logika dalam pengelolaan anggaran negara.
Dari sekian tuntutan, RUU Perampasan Aset jadi sorotan. Bagi rakyat, ia bukan sekadar dokumen, melainkan kunci untuk merebut kembali uang yang selama ini dicuri para koruptor. Sayangnya, naskah undang-undang itu lebih sering menjadi bahan wacana ketimbang keputusan nyata. Seperti mantan gebetan: kerap disebut, tapi tak kunjung jadi kepastian.
Aksi ini bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir. Sejarah negeri ini sarat dengan kisah rakyat yang turun ke jalan—dari reformasi hingga era “reformasi setengah hati.” Dan seperti biasa, di balik teriakan keras, ada harapan lembut: agar negeri ini tetap waras, agar anak-anak bisa tumbuh di tanah yang adil, bukan sekadar di janji-janji kampanye.
Humor, sarkasme, dan kreativitas menjadi pelipur lara di tengah panas aspal. Namun substansi tetap sama: rakyat muak, tapi masih cukup sabar untuk berharap.
Pada akhirnya, suara yang menggelegar di depan gedung parlemen hanyalah satu hal: alarm. Sebuah pengingat keras bagi mereka yang duduk di kursi empuk, bahwa demokrasi tidak berhenti di bilik suara. Ia hidup di jalanan, di ruang-ruang diskusi, di spanduk yang diangkat dengan tangan penuh peluh.
Dan bila gedung megah itu tetap pura-pura tuli? Rakyat sudah terbiasa bersuara. Entah lewat aksi, tulisan, atau bahkan meme yang viral. Karena dalam demokrasi, wakil rakyat tidak pernah benar-benar bisa melupakan siapa yang diwakilinya. Jika lupa, rakyatlah yang akan mengingatkan. (Red).