BATAM — Malam di Bukit Senyum, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, nyaris selalu menelan kisah remang-remang. Kamis itu, 17 Juli 2025, sekitar pukul 23.00 WIB, di sudut gang yang diterangi lampu neon temaram, sepotong perundingan tarif berubah jadi percikan darah.
TNF, wanita paruh baya berusia 48 tahun, yang selama ini menggantungkan hidupnya di pinggir trotoar Bukit Senyum, bertemu IF, seorang pria 25 tahun yang katanya hanya sekadar ‘melepas penat’. Mereka berdua berdiri di antara bayangan bangunan tua, menukar rayu, menawar harga, seolah malam itu milik berdua.
Rp 150 ribu. Begitu kata TNF. Suaranya pelan, tetapi tegas. Tarif standar bagi lelaki yang sekadar ingin melepas nafsu dan pergi tanpa nama. Namun IF menolak. Kantongnya hanya berisi Rp 100 ribu, dan kata-kata untuk memaksa.
Percakapan yang mestinya selesai dengan tawa ringan dan langkah kaki menjauh, justru buntu di situ. Nafsu IF sudah di ubun-ubun, tetapi uangnya kering. Tak ada kompromi. Tak ada tenggang rasa. Dalam sepersekian detik, IF merogoh gunting benda sederhana yang entah kenapa bisa berada di antara mereka malam itu.
Tikam pertama menghujam paha TNF. Darah hangat mengalir di jalan aspal yang dingin. TNF berteriak. Tikaman kedua menembus bokongnya. Nafas TNF tersengal, gemetar di bawah lampu jalan, sementara IF berdiri membatu marah, takut, dan sekaligus tak tahu apa lagi yang harus dilakukan.
Orang-orang datang. Beberapa warga Bukit Senyum sudah hafal betul gemuruh suara di gang sempit. Mereka menangkap IF yang sempat mencoba kabur. Beberapa tangan gemetar memegang luka TNF, sementara suara sirine ambulans membelah hening dini hari.
Kapolsek Lubuk Baja Kompol Budi Hartono membenarkan tragedi ini. “Motifnya karena pelaku kecewa tawar menawar tidak sepakat. Nafsu pelaku tidak terbendung, akhirnya nekat melukai korban,” ujar Budi, Jumat (18/7/2025) siang.
TNF kini terbaring di rumah sakit. Luka di pahanya dijahit, luka di bokongnya dibersihkan. Namun luka di harga dirinya, barangkali tak ada obat. Selembar Rp 50 ribu memisahkan hidup dan mati di sudut kota industri ini.
IF mendekam di sel tahanan. Polisi menjeratnya dengan pasal penganiayaan berat. Lima tahun penjara menunggu, bahkan bisa lebih. Sementara di Bukit Senyum, lampu neon tetap menyala. Di sudut-sudut lain, transaksi tetap berbisik. Dan entah siapa, esok atau lusa, yang lagi-lagi harus menukar tubuhnya demi hidup, dengan risiko selembar gunting menanti di balik saku orang asing.(Red-SI).