PALI – Siang itu, Selasa (2/9/2025), halaman kantor Bupati PALI di KM 10 terasa berbeda. Alih-alih dipenuhi barisan massa dengan atribut aksi, suasana justru tenang namun penuh harapan. Di balik tembok gedung pemerintahan itu, berlangsung sebuah pertemuan yang menentukan: audiensi terbuka antara Bupati PALI, Asgianto, ST., dan Ketua Fakar Lematang, Aka Choliq Darlin, bersama jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Pertemuan tersebut menjadi titik balik penting. Rencana aksi damai yang semula dijadwalkan pada Kamis, 4 September 2025, oleh Fakar Lematang resmi dibatalkan. Bukan karena aspirasi terabaikan, tetapi justru karena aspirasi itu telah menemukan jalan penyampaiannya secara langsung—melalui dialog terbuka, bukan teriakan di jalanan.
Awalnya, Fakar Lematang telah menyiapkan sejumlah tuntutan yang hendak disampaikan lewat aksi damai. Namun, Bupati Asgianto mengambil langkah berbeda: mengundang mereka berdialog lebih dahulu. Langkah sederhana itu terbukti mampu mengubah arah.
“Alhamdulillah, hari ini kita berdialog secara terbuka. Aspirasi dan tuntutan masyarakat sudah langsung disampaikan kepada saya. Karena itu, dengan kebesaran hati, rencana demonstrasi pada 4 September resmi dibatalkan,” ujar Asgianto dengan suara mantap, disambut anggukan para peserta audiensi.
Ia menekankan bahwa pembangunan daerah tidak akan bisa berjalan jika diliputi suasana penuh kecurigaan atau ketegangan. “Kabupaten PALI sedang berbenah. Mari kita jaga kondusifitas ini agar pembangunan berjalan lancar dan PALI mampu berakselerasi ke depan,” tambahnya.
Di sisi lain, Ketua Fakar Lematang, Aka Choliq Darlin, menegaskan bahwa tujuan pihaknya bukanlah semata-mata aksi, melainkan penyampaian aspirasi. “Tujuan kami adalah menyampaikan aspirasi masyarakat. Tetapi dengan adanya undangan dialog ini, tuntutan masyarakat tetap tersampaikan tanpa harus ada demonstrasi. Kami menghargai langkah Pak Bupati yang lebih dahulu membuka ruang komunikasi,” katanya.
Menurut Aka Choliq, pembatalan aksi damai justru mencerminkan kedewasaan berdemokrasi di Kabupaten PALI. “Kami berharap komunikasi langsung antara pemerintah dengan masyarakat terus menjadi budaya, karena dengan begitu suasana kondusif dapat terjaga,” ujarnya.
Audiensi itu tidak hanya dihadiri Bupati dan perwakilan masyarakat, tetapi juga jajaran Forkopimda. Kapolres PALI, AKBP Yunar Hotma Parulian Sirait, S.H., S.I.K., M.IK., hadir memberi penegasan bahwa keamanan dan kedamaian adalah tanggung jawab bersama.
“Kami mengajak seluruh masyarakat Kabupaten PALI untuk bersinergi, menjaga kamtibmas, serta menciptakan situasi yang aman dan kondusif. Dengan suasana yang harmonis, pembangunan dapat berjalan optimal dan kesejahteraan masyarakat bisa kita capai bersama,” tegas Kapolres.
Hadir pula Kajari, Dandim, Ketua DPRD, dan Ketua MUI PALI. Kehadiran mereka memperlihatkan bahwa suara masyarakat tidak ditanggapi setengah hati. Semua unsur pimpinan daerah duduk bersama, mendengarkan, dan mencari solusi.
Di banyak daerah, aksi demonstrasi seringkali menjadi pilihan utama untuk menyuarakan protes. Namun, PALI memilih jalan berbeda. Bupati membuka ruang, masyarakat menerima, aparat menjaga. Alhasil, jalanan tetap tenang, dan demokrasi menemukan wajahnya yang sejuk.
Kesepakatan untuk membatalkan aksi damai menjadi simbol baru bagi Kabupaten PALI. Simbol bahwa dialog bisa lebih lantang daripada orasi, bahwa tangan yang berjabat bisa lebih kuat daripada kepalan yang diacungkan.
“Pemerintah daerah, aparat keamanan, dan masyarakat berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas sosial demi terwujudnya PALI yang lebih maju dan berdaya saing,” pungkas Bupati Asgianto sebelum menutup audiensi.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa ruang demokrasi tidak harus selalu berujung pada konfrontasi. Justru, ketika pemerintah membuka pintu dialog, dan masyarakat mau melangkah masuk dengan hati terbuka, maka yang lahir adalah kepercayaan.
Hari itu, PALI memilih jalan damai. Tidak ada spanduk aksi, tidak ada barikade aparat, tidak ada kericuhan. Yang ada hanyalah meja dialog, kursi-kursi sederhana, dan suara-suara yang saling didengarkan.
Dan mungkin, dari ruang sederhana itulah lahir sebuah keyakinan baru: bahwa pembangunan tidak hanya soal infrastruktur dan program, tetapi juga soal menjaga hati rakyat tetap percaya pada pemimpinnya. (35).